Monday, March 28, 2011

guru honor indonesia menulis Membuka Tabir Kebenaran

Membuka Tabir Kebenaran

Nurmazaya Khurin'in

Guru KB TK Yaa Bunayya Hidayatullah Surabaya

Ada ungkapan di Jerman yang menyatakan, "Gunakan uang yang banyak untuk riset, maka riset akan memberimu uang banyak." Di sini penulis meminta ijin untuk sedikit mengubah kalimat di atas, namun sedikit banyak maknanya tidaklah berbeda. "Menulislah yang banyak, maka tulisan akan memberimu uang banyak."

Kalimat tersebut bagi sebagian masyarakat masih diragukan. Pasalnya, masyarakat masih cekak dalam mendefiniskan arti kata pekerjaan. Pekerjaan versi masyarakat, yakni aktivitas yang memiliki mobilitas tinggi. Berangkat pagi, pulang sore. Ada kantor yang representatif, bila perlu di tempat strategis. Bahkan saking cekaknya nalar, ada yang berpaham, pekerjaan itu tidak lepas dari peras keringat dan banting tulang. Cerdas 'okol' tetapi jauh dari akal.

Maka tidak heran jika di sekitar kita, remaja atau jenjang usia di atasnya yang memahami bahwa pekerjaan itu identik dengan aktivitas otot dan keringat semata, mempercepat usia kerutan wajah. Bahasa prokem menamainya, wajah bermutu alias bermuka tua. Walau apapun pekerjaan asal diniati dengan ikhlas dan memiliki kredibilitas positif, dalam arti halal, tidak menjadi soal.

Tetapi bagaimana jika saya menyebut profesi menulis menjadi lahan pekerjaan yang menjanjikan? Menulis itu mudah jika disenangi, ditelateni, dan dipraktikan. Apapun tulisan itu. Dan seorang penulis harus membaca, apapun. Ada anak kecil yang pernah penulis tanya kenapa membawa buku ketika (maaf) buang air besar. Dia bilang, saya suka membaca. Jadi, dim anapun dan kapanpun, membaca adalah bagian tidak terpisahkan dari tulis menulis.

Sekadar curhat lewat buku diary, memanfaatkan blog agar banyak yang mengunjungi kemudian ada yang berminat beriklan diblog kita. Setali tiga uang. Puas batin, puas juga di kantong.

Menulis tidak terikat dengan waktu dan tempat. Terserah kita, mau menulis kapan dan dimana, asal bisa memunculkan ide. Bahkan di kamar pun kita bisa bekerja.

Sebagai testimoni saja, Kang Abik, sapaan penulis buku Ayat-Ayat Cinta, Dalam Mihrab Cinta, dan beberapa karya yang lain mampu meraup untung tidak hanya jutaan rupiah, tetapi miliaran rupiah dari komisi tulisan yang diterbitkan. Andrea Hirata, yang membidani tetralogi Laskar Pelangi telah mengubah hidupnya yang tidak hanya dikenal publik dari karyanya, tetapi juga telah mengangkat kembali oase pendidikan di daerah terpencil di Belitong yang ia kisahkan dengan apik.

Artinya profesi menulis tidak hanya menjanjikan melimpahnya materi, tetapi jejak kehidupan di mata masyarakat juga akan berbeda. Tetapi apakah menulis memang bertujuan mencari fulus? Jika kita sebagai pendidik, jangan sekali pun mengatakan pada siswa kita bahwa menulis untuk mencari uang, tetapi menulis untuk membuka tabir kebenaran. Dengan begitu pada saatnya anak tidak pamrih. Tetapi tanamkan, menulislah untuk membuka kebenaran, maka keberanaran dari tulisan akan memberi uang banyak.

Saat ini, peserta didik di beberapa sekolah, baik di kota maupun di desa tidak lagi berhasrat dengan dunia tulis menulis. Kalau pun ada hanya sedikit sekali. Bagaimana untuk menumbuhkan cinta menulis pada peserta didik?

Pelajaran mengarang sangat ampuh dijadikan solusi untuk mengurai kembali hasrat siswa tumbuh menjadi penulis hebat. Pasalnya pelajaran mengarang seolah menghilang. Siswa sekarang lebih hafal keypad handphone ketimbang huruf dalam keyboard.

guru honor indonesia menulis Belajar Mengajar Calon Penulis Andal

Belajar Mengajar Calon Penulis Andal
Trianto Thomas SPd
Guru SMPK Santa Maria II Malang
triantothomas@gmail.com

Budaya menulis masih menjadi sesuatu yang kurang familiar bagi siswa. Menyikapi fenomena tersebut, sebagai guru, orang tua, dan pengambil kebijakan sekolah berjuang membudayakan proses kreatif menulis. Dengan pendekatan dan pandangan yang konstruktif dunia menulis akan menjadi kegiatan rutin yang akan dilakukan oleh pemilik masa depan negeri ini.
Realitas yang ada adalah kegiatan menulis masih menjadi kegiatan yang kurang diminati, baik itu siswa maupun lingkunga kita. Semua sadar, menulis adalah proses yang kompleks, rumit dan berulang-ulang, bukan proses yang bersifat linier. Proses menulis adalah proses berpikir yang berlangsung selama kegiatan menulis (Crowhurst, 1988:7) Sebagai tindak lanjut, apa yang mesti dilakukan?
Guru sebagai motivator adalah orang yang selalu menfasilitasi kegiatan menulis siswa, harus memiliki visi jelas. Arah tujuan yang akan didapat tentunya sesuai dengan kurikulum yang sudah ditata sesuai kondisi budaya belajar di sekolah. Penulis yakin tak ada seorang guru yang tak menginginkan siswanya memiliki kesempatan dan keterampilan lebih. Jadi peran guru dari pelbagai disiplin ilmu harus memberi kesempatan agar keterampilan menulis mulai dibudayakan.
Menyadari peranan penting itu, penulis meyakini guru masih menjadi orang yang patut dijadikan teladan, kalau toh masih ada guru yang belum terbiasa menulis atau memiliki budaya menulis, semata-mata karena faktor lingkungan. Buktinya jika di lingkungan guru kebiasaan menulis menjadi target pembiasaan yang sudah dicanangkan, sekolah pastilah tak akan ada satu guru pun yang akan menghindari pembiasaan tersebut. Mungkin yang menjadi faktor penghambat adalah waktu yang kurang/tak memungkinkan guru melakukan refleksi dan proses kreatif karena terlalu banyaknya tugas dan kegiatan. Belum lagi jika kita menoleh tanggung jawab sosial guru dalam keluarga dan masyarakat.
Semua itu dapat disiasati dengan kebijakan dan pemikiran lebih arif. Pendek kata mari mencoba memfasilitasi kegiatan menulis siswa sehubungan dengan mata pelajaran yang kita ampu ini. Menyadari keterampilan menulis siswa usia remaja harus dijadikan pembiasaan, kiranya peranan orangtua pun cukup penting. Janganlah sebagai orang tua memiliki pemikiran sempit terhadap definisi belajar bagi anak. Dukung anak jika mereka mencoba untuk menulis puisi, cerita pendek, novel, ataupun karya ilmiah. Kadang ada orangtua yang menganggap kegiatan itu kurang penting! Dengan menulis, anak akan memiliki pola pikir sistematis dalam menyampaikan gagasan dan imajinasi logisnya, dengan demikian otak melakukan aktivitas mereproduksi apa yang menjadi pikirannya.
Orangtua diharap memberi dukungan baik materi (perangkat keras kegiatan menulis) maupun dorongan moral (dialog/interaksi). Memberi waktu /dukungan dengan pembimbingan secara langsung. Misalnya, dengan duduk bersama untuk melatih cara menyampaikan pikiran/gagasan dalam bentuk tulisan, mengarahkan anak untuk mencoba mengirimkan tulisan ke media yang memungkinkan hasil tulisan tersebut dipublikasikan.
Siswa harus menemukan rasa percaya dengan menanyakan pada diri sendiri jika Ayu Utami atau Dyan Nuranindya bisa menulis mengapa aku tidak? Pertanyaan itu silakan terus dikumandangkan dalam proses belajar. Dengan memiliki rasa percaya diri yang besar merupakan modal mengawali belajar menulis kian bergairah. Siswa harus mengikuti perkembangan sepak terjang penulis muda. Misalnya peserta lomba karya ilmiah, penulis teenlit, dan hasil-hasil tulisan baik dari internet, televisi, surat kabar, maupun koran. Selalu mau dan berusaha melihat karya orang lain karena dengan demikian pikiran akan mendapat informasi terbaru. Ingat tulisan yang baik adalah tulisan yang memiliki kesegaran.
Siswa harus bermental baja, tak takut gagal jika tulisannya dikirim dan masih belum mendapat kesempatan dimuat karena berbagai pertimbangan. Lakukan evaluasi dengan menenangkan diri, catatlah ide-ide yang bisa menjadi sumber inspirasi tulisan. Totalitas berpikir dan cita-cita yang jelas akan memotivasi diri. Anak akan memiliki mental yang kuat jika mengalami kegagalan, terus maju jika mendapatkan tantangan, dengan demikian kekuatan yang dibangun untuk lebih memotivasi diri akan mendongkrak jiwa ini dalam memosisikan diri sebagai calon penulis andal.

guru honor indonesia

Guru Honor dan PTT Harus Dilindungi PP

JAKARTA, KOMPAS.com -- Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) berharap ada dua peraturan pemerintah yang lahir tahun ini untuk memperbaiki nasib guru honor dan guru pegawai tidak tetap (PTT). Hal itu terkait dengan batas waktu pengangkatan guru honor dan PTT menjadi pegawai negeri sipil (PNS) yang jatuh tahun ini.

Demikian diungkapkan Ketua Pengurus Besar PGRI Sulistiyo kepada Kompas.com, Kamis (3/3/2011) di Jakarta. Peraturan pemerintah (PP) pertama, lanjut Sulistiyo, adalah PP yang mengatur tentang penyelesaian tenaga honorer. Sementara itu, PP kedua diperlukan untuk mengatur tentang guru PTT non-PNS.

"Yang kedua ini harus segera dilakukan sehingga sebelum menjadi PNS mereka sudah dilindungi peraturan tersendiri. PTT itu harus ada kejelasan tentang sistem rekrutmennya, juga tugas-tugas mereka yang bisa dihargai," Sulistiyo.

Seperti diberitakan, PGRI belum melihat tanda-tanda yang jelas tentang perubahan status para guru honor dan guru berstatus PTT untuk menjadi PNS. Hal tersebut sangat dikhawatirkan karena kebutuhan guru semakin mendesak karena tahun 2011 adalah batas terakhir pengangkatan guru honor dan PTT menjadi PNS untuk mengantisipasi pensiun besar-besaran pada 2012 nanti.

"Terus terang saya sedih melihat kondisi ini. Sampai sekarang masih belum jelas perubahan status mereka, sementara di sisi lain kebutuhan itu terus mendesak dilakukan. Kalau tahun ini para tenaga guru bantu tersebut tidak juga diangkat PNS, Indonesia akan mengalami krisis pendidik," ujarnya.

Tuesday, March 15, 2011

Memperkaya Pembelajaran Membaca Melalui E- Learning


Memperkaya Pembelajaran Membaca Melalui E- Learning

Prana D. Iswara
Pembelajaran membaca melalui e-learning dilakukan sebagai upaya memperkaya pembelajaran membaca yang dilakukan di kelas. Dalam menyelenggarakan pembelajaran membaca melalui e-learning, pengajar mesti menguasai sejumlah prosedur serta pengetahuan tertentu selain materi pembelajaran. Prosedur login dalam e-learning dan pengajaran prosedur login merupakan salah satu contoh prosedur yang penting untuk dikuasai pengajar dan pembelajar. Pengetahuan lainnya berkenaan dengan e-learning di antaranya . Pengembangan materi pembelajaran pun penting di dalam e-learning. Materi pembelajaran yang dapat dikembangkan di antaranya berupa file suara (ceramah, mp3, wav), film (3gp, mp4) selain file teks (hypertext, html, txt, doc, xls), gambar (jpg), atau animasi (gif, swf). Dari sisi materi, pengajar dapat menerapkan salah satu strategi membaca misalnya strategi POSSE.
Pembelajaran di kelas pada saat ini tidak diragukan lagi merupakan tempat yang efektif dan efisien bagi pembelajaran membaca. Bila orang berbicara tentang pengajaran atau pembelajaran membaca, yang dibayangkan oleh orang ini adalah sebuah suasana kelas, keteraturan bertemu, terjadwal, di tempat dan waktu tertentu. Pada prinsipnya pembelajaran di kelas dilaksanakan dengan sistem sinkronus (kesamaan waktu dan tempat).
Pada hari ini, selain terdapat pembelajaran di kelas (klasikal) terdapat pula pembelajaran melalui internet. Pembelajaran melalui internet ini akan mengabaikan aspek sinkronus. Pembelajar dapat belajar dari internet dan membuka berkas-berkas yang disimpan oleh pengajar di internet. Dengan demikian, waktu yang diperlukan oleh pembelajar untuk membuka internet tidak perlu bersamaan dengan waktu yang dilakukan pengajar untuk menyimpan materi pembelajaran di internet. Demikian pula tempat yang didiami pembelajar tidak perlu relatif sama dengan tempat yang didiami pengajar.
Pada hari ini, sejumlah materi pembelajaran diadministrasikan melalui e-learning. Kadang-kadang materi itu tidak secara eksklusif untuk pengguna internet tertentu saja, melainkan semua pengguna internet dapat memanfaatkan (membaca) materi pelajaran itu. Selain itu pembelajar pun dapat memanfaatkan materi-materi yang disampaikan oleh pengajar atau ahli lain yang akan memperkaya materi yang dibutuhkannya.
Sekalipun e-learning menawarkan sejumlah kelebihan daripada pembelajaran di kelas, pembelajaran di kelas (klasikal) tidak dapat dihilangkah sama sekali. Dengan demikian, sebenarnya, e-learning memperkaya pembelajaran di kelas dan tidak menggantikannya sama sekali. Pembelajar mencari sumber-sumber (materi) dari internet untuk memperkaya materi yang didapatkannya di kelas.
Pembelajaran berbasis internet merupakan tambahan dari pembelajaran-pembelajaran klasikal (di kelas). Biasanya pengajar menugasi pembelajar untuk mencari bahan-bahan di internet untuk didiskusikan di kelas. Pengajar pun menyimpan beberapa materi atau sumber penting yang dapat dilihat (dibaca) dan dimanfaatkan pembelajar yang membuka internet.
Apakah pembelajaran e-learning itu?
Untuk menjawab permasalahan apakah e-learning itu, seseorang lebih mudah menunjukkan barangnya. Hal itu mirip dengan seseorang yang bertanya, apakah mobil atau telepon selular (ponsel) itu? Orang yang hendak memberi penjelasan kepada orang
yang ingin tahu itu lebih mudah menunjukkan mobil atau ponsel daripada menguraikan definisinya.
Salah satu contoh e-learning adalah situs http://kd-sumedang.upi.edu. Situs ini merupakan situs resmi dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Kampus Sumedang. Pada situs ini pengguna yang hendak menggunakan materi-materi (resources) yang ada di dalamnya mesti mendaftar dulu (registrasi). Tanpa registrasi seseorang tidak dapat memperoleh materi-materi yang ada di situs ini. Registrasi ini sangat penting karena aktifitas pembelajar akan dinilai. Pada e-learning pun pembelajar dapat menyampaikan tugas serta mengerjakan sejumlah tes. Bila pembelajar tidak teregistrasi, tentu prestasinya tidak dapat dipantau.
E-learning diadministrasikan dengan menyimpan file-file penting bagi pembelajaran di internet. Dengan demikian pembelajar dapat membuka dan mempelajarinya. E-learning pun memungkinkan pengajar dan pembelajar menyimpan dan mendiskusikan jaring hubungan (link web) di situs e-learning.
Bermacam-macam file yang memungkinkan disimpan di server atau situs, di antaranya file teks (hypertext, html, txt, doc, ppt, xls), gambar (jpg), animasi (gif, swf), suara (amr, mp3, wav) atau film (3gp, dat, avi). Dengan cukup banyaknya jenis file yang dapat disimpan di situs, kreatifitas pengajar pun semestinya ditingkatkan. Seorang pengajar memungkinkan untuk membuat video dari telepon selular berkenaan dengan sebuah presentasi atau penjelasan. Pengajar pun dapat merekam ceramah melalui pesawat mp3 player atau telepon selular dan menyimpan rekaman ceramah itu di situs. Pembelajar dapat menyimak dan mengkopi file ini dan memutarnya pada komputer atau telepon selular yang dimilikinya.
Beberapa Fitur Membaca melalui Internet
Telah diuraikan di atas bahwa materi bacaan di internet sangat melimpah-ruah. Pengajar tidak hanya dapat menunjukkan sumber-sumber materi penting yang ada di internet, tetapi juga mendiskusikan sumber-sumber materi penting yang diperoleh pembelajar. Dengan demikian, prestasi pembelajar yang menonjol merupakan catatan tersendiri bagi pengajar. Pengajar akan mudah menentukan pembelajar yang menonjol pengetahuannya dengan prestasi yang signifikan.
Dalam pembelajaran membaca, pengajar dapat leluasa memilih bacaan bagi pembelajar. Pembelajar dapat memilih tema yang menarik dan cocok bagi pembelajar. Dengan melimpahnya bacaan bagi pembelajar, pemilihan bacaan akan lebih bervariasi. Tema yang mungkin menarik bagi pembelajar akan dikaitkan dengan muatan lokal yang sesuai dengan wilayah pembelajar. Tema ini relevan sebagai bacaan di jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, menengah maupun perguruan tinggi.
Pemilihan tema bacaan ini mesti didiskusikan oleh pengajar dengan pembelajarnya. Boleh jadi pengalaman pembelajar cukup banyak untuk memberi bekal wawasan kepada pembelajar untuk mengeksplorasi tema-tema ini. Tema buah dan sayuran hasil tani dan perkebunan, misalnya, merupakan tema yang penting untuk dibahas. Saat dunia dilanda krisis pangan, Indonesia sama sekali tidak merasakannya karena kekayaan alam dan kreatifitas masyarakatnya. Indonesia bahkan tidak perlu lagi mengimpor beras karena hasil beras di dalam negeri dapat dimanfaatkan secara maksimal. Tema lainnya yang dapat dipilih di antaranya karet dan kelapa sawit sebagai perkebunan unggul, pabrik kapur di Bongas, pabrik semen di Palimanan, tambang
minyak di Indramayu, perikanan emas dan nila, peternakan kambing dan sapi, tambak udang.
Kekayaan bumi Indonesia akan minyak, timah, emas merupakan kekayaan alam yang mesti diolah dengan kepintaran dan kejujuran. Wacana-wacana seperti ini dengan pengantar yang baik dari pengajar akan menjadikan orientasi pembelajaran terarah. Dengan demikian, pembelajar dapat memanfaatkan wacana-wacana ini sebaik-baiknya.
Penelitian Membaca melalui Internet
Melihat perkembangan internet dan pembelajaran melalui internet yang melaju tanpa henti, peluang penelitian melalui internet pun terbuka lebar. Penelitian pendidikan berkenaan dengan internet ini pun setahap demi setahap akan berkembang. Beberapa peluang pun dapat dilihat dari para pengguna internet berkenaan dengan proses pembelajaran melalui internet. Pengajar dapat mengembangkan penelitian-penelitian berkenaan dengan penggunaan internet di dalam pembelajaran. Sekalipun internet hanya merupakan tambahan atau pemerkaya pembelajaran di kelas, pembelajaran melalui internet terus melaju dan berkembang. Penelitian pembelajaran melalui internet pun menjadi bagian dari penelitian pembelajaran yang tidak dapat dihalangi lagi.
Salah satu proyek penelitian yang dapat dilakukan dalam pembelajaran (membaca) melalui internet adalah prosedur log in. Prosedur log in ini terlihat sepele. Namun, berdasarkan pengalaman pembelajaran e-learning, prosedur log ini ini, bila tidak dilakukan dengan tepat akan menghambat pembelajaran. Di dalam prosedur log ini, terdapat kegagalan log in yang dapat mengakibatkan menurunnya motivasi pembelajar melanjutkan eksplorasi materi pembelajaran.
Prosedur ini dapat dikembangkan menjadi sejumlah prosedur operasional baku (POB, standard operating procedure). Hingga saat ini, untuk pembelajaran membaca terdapat setidaknya sepuluh prosedur operasional baku. Prosedur operasional baku yang telah disusun di antaranya (1) prosedur pendaftaran pembelajaran e-learning, (2) prosedur pengerjaan tugas dan evaluasi bagi pembelajar, (3) prosedur pemuatan bahan belajar e-learning, (4) prosedur penanganan kesulitan pembelajar, (5) prosedur penyusunan serta pemeriksaan tugas, (6) prosedur penyusunan evaluasi membaca, (7) prosedur pemilihan wacana, (8) prosedur pengukuran keterbacaan, (9) prosedur pemeriksaan tugas dan tes membaca, serta (10) prosedur pencatatan karakteristik pembelajar.
Proyek penelitian lainnya ialah pengembangan materi pembelajaran. Materi pembelajaran dapat dikembangkan misalnya berkenaan dengan strategi membaca, model membaca, metode membaca atau teknik membaca. Pengetahuan pembelajar yang paripurna berkenaan dengan strategi membaca merupakan kekayaan yang mesti dimiliki pembelajar. Pengajar dapat mengumpulkan materi dan menyimpan materi ini di internet. Selain itu penggunaan strategi membaca ini pun mesti dilatihkan bagi pembelajar calon pengajar.
Keterampilan membaca diyakini tidak akan diperoleh dengan hanya melakukan satu atau dua kali latihan. Karena itu pengembangan latihan-latihan membaca berbasis internet pun sangat menarik untuk dilakukan. Pengembangan latihan membaca berbasis internet ini mesti dilakukan dengan keterampilan pengajar yang berkompeten di bidangnya. Beberapa prosedur latihan pembelajaran membaca melalui internet dapat dikembangkan di dalam penelitian pendidikan membaca. Latihan membaca ini mesti
diujikan kepada pembelajar sebagai sejumlah pertanyaan yang mesti dijawab pembelajar. Administrasi ujian melalui internet mesti dapat diskor dan dinilai oleh komputer di bawah pengawasan pengajar. Pengajar bertanggung jawab terhadap nilai pembelajar. Pengajar pun berkewajiban memberikan tindak lanjut berupa pengayaan (enrichment) atau remedial bagi para pembelajarnya.
Pengembangan materi bacaan lainnya ialah berupa pencarian bahan bacaan atau hubungan (link) pada bahan bacaan yang menarik dan penting bagi pembelajar. Pencarian bahan bacaan ini termasuk juga pengujian keterbacaan, pemilihan tema. Bacaan yang telah dipilih selanjutnya dibuatkan pertanyaan yang relevan dengannya. Pertanyaan untuk tes semestinya mencakup tingkat kesulitan yang bervariasi seperti pertanyaan kategori kognitif ingatan (C1), terjemahan (C2), interpretasi / pemahaman (C3), aplikasi (C4), analisis (C5), sintesis (C6) dan evaluasi (C7).
Proyek penelitian lainnya ialah pengembangan materi berupa file suara (ceramah, mp3, wav), film (3gp, mp4) selain file teks (hypertext, html, txt, doc, xls), gambar (jpg), atau animasi (gif, swf). Penelitian ini dapat berupa penelitian efektifitas dan efisiensi. Tentu saja pengembangan file-file itu harus disertai dasar studi yang cermat dan tepat. Bila file-file itu dikembangkan dengan terburu-buru, mungkin saja terdapat kekurangan alih-alih meningkatkan motivasi dan keterampilan pembelajar. Keahlian ini bisa saja menjadi pelengkap keahlian pengajar-pengajar di masa depan. Keahlian berinternet pun mesti menjadi proyeksi keahlian calon pengajar dari suatu lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK).
Proyek penelitian lainnya ialah pengembangan prosedur membaca (strategi membaca POSSE). Hal ini termasuk pemantauan prosedur pengajar dan perilaku (aktifitas) pembelajar serta kemampuan membaca pembelajar. Strategi membaca POSSE ialah terdiri atas langkah memprediksi, mengorganisasi / menyusun, membaca struktur, merangkum, mengevaluasi (Predict, Organize, Search for structure, Summarize, Evaluate) Strategi membaca POSSE semestinya dilakukan untuk melatih dan meningkatkan kemampuan membaca. Strategi membaca POSSE, contohnya, merupakan model yang mendorong pelakunya untuk membaca bacaan dan memahami isinya. Dengan demikian, detail huruf atau detail kalimat tidaklah mesti benar-benar diperhatikan. Yang penting adalah pemahaman dari teks yang dibacanya. Perilaku seperti ini mesti dengan cermat diteliti sebagai bagian dari penelitian membaca melalui internet.
Pembelajaran e-learning biasanya merupakan pembelajaran eksklusif yaitu setiap orang mesti terdaftar (teregistrasi) di dalam situs e-learning itu. Pembelajaran yang inklusif tidak memungkinkan penilaian bagi setiap pembelajar karena biasanya pembelajaran inklusif tidak mengharuskan registrasi bagi penggunanya. Sekalipun demikian, pembelajar yang eksklusif ini pun dapat memperkaya pengetahuannya dengan mengakses dan melihat sumber-sumber yang inklusif. Pada sisi ini, pengajar mesti menjadi penengah bila pembelajar menemui kebuntuan karena melimpahnya bahan-bahan pembelajaran. Pengajar mesti memberi petunjuk agar pembelajar tidak tersesat dalam rimba pengetahuan tanpa ujung-pangkalnya. Pengajar mesti dengan bijak menjelaskan batasan suatu istilah yang mungkin sangat beragam di internet. Pengajar mesti membekali pembelajar dengan pengetahuan yang dapat dijadikan model untuk dikembangkan lagi oleh pembelajar.
Penelitian selanjutnya yang penting di dalam pembelajaran membaca melalui internet adalah asesmen. Asesmen yang dilakukan dapat berupa tes, pretes, postes, tes formatif atau tes sumatif. Segala tes yang diadministrasikan di kelas dapat dicobakan untuk diadministrasikan melalui internet. Tentu saja prosedur administrasi tes melalui internet yang berbeda dengan prosedur administrasi tes di kelas ini akan sangat menarik untuk diteliti.
Penelitian melalui internet dapat dikembangkan dengan paradigma kualitatif ataupun kuantitatif. Paradigma kualitatif sangat kuat untuk menguraikan perubahan perilaku pembelajar berkenaan dengan keterampilan mengeksplorasi situs e-learning. Di beberapa negeri, di belahan dunia, perilaku berlebihan seperti kecanduan internet atau fobia internet menjadi fenomena yang menarik untuk diwaspadai pengajar dan pembelajar. Selain paradigma kualitatif, paradigma kuantitatif pun dapat digunakan. Berbagai teknik statistik juga mungkin untuk digunakan. Dengan demikian, penelitian-penelitian pembelajaran di kelas konvensional pada umumnya dapat diusahakan untuk dilakukan pula pada penelitian pembelajaran yang memanfaatkan internet.
Beberapa Bantuan dalam Pembelajaran Internet
Beberapa kegiatan dapat dilakukan untuk membantu pembelajaran melalui internet di antaranya penggunaan messenger untuk bercakap-cakap (chat, chatting), dan blog untuk mengekspresikan pengetahuan.
Yahoo! Messenger (YM) adalah program untuk bercakap-cakap dengan pengguna internet lain. Program ini sangat massal dan kerap digunakan oleh pengguna internet. Program ini sangat bermanfaat bagi pembelajaran melalui internet umumnya dan pembelajaran membaca melalui internet pada khususnya. Dengan program YM seorang pengajar dapat melakukan konferensi, telekonferensi atau video konferensi dengan para
pembelajarnya. Video konferensi hanya memungkinkan jika pada komputer terdapat kamera. Telekonferensi ini memungkinkan seseorang pembelajar bertemu dan seolah berhadapan padahal pembelajar ini sebenarnya berbeda kota atau bahkan berbeda negara (berbeda tempat) dengan pengajarnya. Bila pembelajar sedang berada di kelas, pengajar tak perlu selamanya berada di depan kelas. Bila pembelajar sedang belajar di komputer sekolah, pengajar tak perlu selamanya berada di depan pembelajar karena komputer akan melayani pembelajaran yang dilakukan pembelajar itu.
Melalui YM, pembelajar dapat mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan yang penting dengan pengajarnya. Pertanyaan-pertanyaan ini dapat dikirimkan kepada pengajar sekalipun pengajar tidak sedang berinternet (online). Pengajar dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan pengajar ketika ia kembali berinternet. Pembelajar pun selain dapat menerima jawaban ketika sedang berinternet, ia pun dapat menerima jawaban ketika sedang tidak berinternet (offline). Dengan demikian, penggunaan YM sedikit lebih baik daripada e-mail saja karena penggunanya dapat bercakap-cakap langsung pada saat yang bersamaan (real time, sinkronus).
Pada saat ini, beberapa tugas dapat dipertimbangkan untuk diadministrasikan melalui blog. Blog yang ada di internet misalnya di blogger (http://www.blogger.com), wordpress (http://www.wordpress.com), typepad (http://www.typepad.com), atau blogware (http://home.blogware.com). Sebuah blog bisa juga terintegrasi dengan situs-situs sosial seperti facebook (www.facebook.com), friendster (www.friendster.com), multiply (www.multiply.com) atau orkut (www.orkut.com). Situs sosial biasanya lebih mengedepankan profil (tentang penulis) daripada tulisannya. Pada e-learning berbasis Moodle (http://moodle.org misalnya situs e-learning kd-sumedang.upi.edu) terdapat fasilitas bagi pembelajar untuk menulis blog. Karena itu menulis di blog pada e-learning berbasis Moodle bisa saja dinilai dan berpengaruh pada pendidikan.
Blog dapat dikembangkan oleh pengajar sebagai bagian dari penelitiannya atau risetnya tentang suatu hal. Validasi tulisan pada sebuah blog memang tidak memiliki ukuran. Ada penulis blog (atau disebut blogger) yang menulis khayalan-khayalan atau fantasi-fantasi di blognya. Ada pula penulis blog yang hanya menulis berita atau tulisan ilmiah di blognya.
Bantuan lainnya yang memungkinkan di dalam pembelajaran melalui internet adalah pemanfaatan asisten di dalam kelas. Pengajar dapat mengangkat asisten-asisten dari pembelajar yang mempunyai bakat (talenta) yang tinggi dan mengelompokkan pembelajar berdasarkan jumlah asisten yang dimilikinya. Sebagai contoh, pembelajaran menulis menuntut pemeriksaan tulisan dari sisi ejaan, tata kalimat dan materi. Pengajar dapat memanfaatkan asisten untuk memudahkan proses belajar mengajar yang dilakukannya. Pada pembelajaran membaca, pengajar pun dapat mengangkat asisten dan menilai pembelajar berdasarkan kemampuan membaca dan tugas-tugas membaca mereka. Pengangkatan asisten ini sangat memungkinkan bagi kelas-kelas gemuk. Di Indonesia, kelas-kelas yang ada pada umumnya adalah kelas gemuk. Bila diasumsikan kelas ideal terdiri atas 20 pembelajar, kelas gemuk di Indonesia bisa mencapai 40 atau 50 pembelajar pada setiap kelasnya. Kelas gemuk sangat memungkinkan untuk pengangkatan asisten selama asisten ini cukup cakap dan dapat dipercaya membantu pengajar.
Bagi institusi atau lembaga yang mendidik calon pengajar (LPTK), keberadaan asisten ini sangat memungkinkan. Tugas calon pengajar adalah menjadi berusaha pengajar yang baik dan mencoba menjadi pengajar yang baik sebagaimana pengajarnya atau bahkan lebih baik daripada pengajarnya.
Penutup
Penelitian membaca berbasis internet merupakan penelitian yang sangat besar potensinya untuk dikembangkan. Penelitian ini dapat dikembangkan mulai dari penelitian yang sederhana maupun penelitian yang kompleks. Penelitian yang mencakup satu atau dua variabel pembahasan pun tak kalah pentingnya bagi pengembangan pembelajaran melalui internet. Penelitian-penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi sumbangan pendidikan pada umumnya.
E-learning akan memperkaya pembelajaran membaca yang dilakukan di kelas-kelas konvensional (klasikal). Potensi ini tak kurang menariknya untuk dikembangkan di tingkat pendidikan usia dini, pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi.
Daftar Pustaka
Alwasilah, A.C.; S.S. Alwasilah (2005) Pokoknya Menulis: Cara Baru Menulis dengan Metode Kolaborasi. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Arikunto, S. (1999) Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Edisi Revisi. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Bachman, L.F. (1990) Fundamental Considerations in Language Testing. Oxford: Oxford University Press.
Damaianti, V.S. (2001) Strategi Volisional melalui Dramatisasi dalam Bidang Pendidikan Membaca. Disertasi Sekolah Pascasarjana. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Hardjasudjana, A.S. (dkk) (tanpa tahun) Materi Pokok Membaca. Jakarta: Penerbit Karunika Jakarta-Universitas Terbuka.
Hardjasudjana, A.S.; V.S. Damaianti (2003) Membaca dalam Teori dan Praktik. Bandung: Mutiara.
http://jurnal-sastra.blogspot.com
http://kd-sumedang.upi.edu
http://moodle.org
Iswara, P.D. (2008) Peningkatan Kemampuan Membaca Pemahaman melalui Model Membaca Top Down berbasis Teknologi Informasi dalam Bahasa Indonesia (Studi Pengembangan terhadap Mahasiswa Program Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Pendidikan Indonesia, Kampus Sumedang). Naskah Disertasi pada Sekolah Pascasarjana UPI Bandung.
McCutchen, D. (2003) Psychology of Reading. tersedia online di alamat http://education.washington.edu/areas/ep/courses/syllabi/EDPSY520Spr03.ppt & http://education.washington.edu/areas/ep/courses/syllabi/EDPSY520Wtr05.pdf
McMillan, J.H; S. Schumacher (1989) Research in Education: A Conceptual Introduction (2nd edition). Virginia: Harper Collins.
Moeliono, A. dkk (1998) Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Nurgiyantoro, B. (1988) Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE.
Nurhadi (2004) Membaca Cepat dan Efektif (Teori dan Latihan). Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Tampubolon, D.P. (1990) Kemampuan Membaca: Teknik Membaca Efetif dan Efisien. Bandung: Angkasa.
Tarigan, H.G. (1983) Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Van Dalen, D.B. (1962) Understanding Educational Research. New York: McGraw-Hill.
Westwood, P. (2008) What Teachers Need to Know About Reading and Writing Difficulties. Camberwell: ACER Press.

Pendidikan dan Kejeniusan Finansial


Pendidikan dan Kejeniusan Finansial 
Oleh Dadang S. Anshori
Istilah kejeniusan finansial (financial Intellegent) pertama kali dilontarkan oleh Robert T. Kiyosaki (1997) dalam buku best seller-nya, Rich Dad, Poor Dad. Buku ini merupakan buku keduanya setelah buku pertamanya yang sangat menarik, If You Want To Be Rich and Happy, Don’t Go To School. Kiyosaki adalah generasi keempat dari pasangan Amerika-Jepang yang sangat jenius di bidang bisnis. Orang-orang menyebutnya sebagai Bapak Para Jutawan. Kritiknya yang paling tajam terhadap sekolah dan finansial adalah “Alasan utama orang bersusah payah secara finansial adalah karena mereka menghabiskan waktu bertahun-tahun di sekolah tetapi tidak belajar apa pun tentang uang. Hasilnya adalah bahwa orang belajar untuk mencari uang… tetapi tidak pernah belajar agar uang bekerja untuk mereka.”
Rich Dad Poor Dad, adalah sebuah narasi tentang pendidikan finansial yang dilakoni Kiyosaki dari kedua ayahnya. Dia menyaksikan dua fenomena yang berbeda dari kedua ayahnya. Ayahnya yang terdidik dengan gelar Ph.D. mengajarkan agar Kiyosaki menjadi anak yang pintar dan mendapat ranking teratas agar bisa masuk perguruan tinggi exelent yang akhirnya mendapatkan pekerjaan yang prospektif kariernya. Ayahnya ini meyakini hanya dengan belajar keras dia akan menjadi orang sukses dan bekerja pada perusahaan besar yang menjanjikan karier yang hebat. Ayahnya yang lain, hanya lulus SMP dan dia mengajarkan agar mencari sesuatu di luar sekolah andaikan Kiyosaki ingin menjadi kaya. Ayahnya yang kedua inilah yang meyakinkan Kiyosaki bahwa sekolah tidak memberikan jawaban terhadap masa depannya. Namun demikian, Kiyosaki tetap berpandangan bahwa pendidikan itu perlu bagi fase kehidupan seseorang. Bagi Kiyosaki prilaku hidup ayahnya yang terdidik adalah prototipe masyarakat miskin, sementara ayahnya yang kedua mencerminkan sikap dan prilaku orang kaya. Orang miskin tidak pernah mengajarkan bagaimana memperkerjakan uang, hal yang dilakukan orang kaya kepada anaknya. Orang miskin hanya mengajarkan bagaimana anak-anak mereka mencari dan mendapatkan uang sebanyak-banyaknya.
Sebagaimana diakui penulis kenamaan Zig Ziglar, buku ini memang sangat rasional untuk pendidikan finansial, bagi siapapun. Namun tentu, pengalaman dalam buku ini bersifat kasuistik. Setiap orang sukses, sebagaimana Kiyosaki, memiliki pengalaman bagaimana mereka menjadi sukses menuju kaya. Fadel Muhammad, untuk kasus Indonesia, adalah model yang representatif sebagaimana ia tulis dalam bukunya, Mengapa Memilih Menjadi Pengusaha. Model-model pengalaman semacam ini sangat bermanfaat bagi generasi muda yang hendak mengikuti jejak menjadi pengusaha atau paling tidak merintis menjadi wirausahawan. Yang ada selama ini hanya biografi-biografi yang sukses sebagai tokoh politik, sementara biografi dan pemikirannya dari kalangan pengusaha masih sangat langka.
Lantas apa hubungan buku tersebut dengan pendidikan? Bukan hanya berhubungan, namun menusuk pada fakus pendidikan kita yang sesungguhnya, yakni sejauhmana pendidikan bisa mempersiapkan peserta didiknya memahami realitas kehidupan yang dihadapinya sehingga secara mandiri dia bisa hidup secara sukses di tengah masyarakat. Dan jantung inilah yang dikritik oleh Kiyosaki. Pendidikan tidak mendeskripsikan tentang realita, dia lebih menarasikan mimpi-mimpi orang besar yang diraih karena disiplin dan kerja keras belajar serta raihan ranking yang tinggi. Sekolah
baru bisa mencetak manusia-manusia yang siap bekerja untuk mencari uang belum mampu mencetak manusia yang bisa mengelola uang agar bisa bekerja untuk dirinya.
Selama ini pendidikan belum mampu menjawab persoalan-persoalan sosial. Pendidikan belum match dengan realitas kehidupan. Bahkan untuk menumbuhkan sikap mandiri dan percaya diri (optimis) tidak cukup berhasil. Pendidikan tidak cukup mampu menghalau budaya-budaya limbah dalam bentuk budaya pop yang hadir di tengah-tengah masyarakat kita. Lihatlah misalnya budaya kampus yang telah jauh bergeser. Kampus nyaris mirip dengan supermall atau tempat-tempat keramaian lainnya. Mahasiswa lebih senang nongkrong di warung-warung kopi kampus daripada bersusah payah membaca atau melakukan penelitian di perpustakaan. Hal ini diperburuk dengan makin mudahnya mendapatkan gelar akademik. Seorang teman yang tidak lulus sarjana tiba-tiba memakai gelar MBA di belakang namanya. Seorang kepala sekolah yang tidak pernah bepergian ke luar negeri apalagi kuliah di luar negeri tiba-tiba mencantumkan gelar MBA, M.Sc. di belakang namanya. Mereka tidak pernah malu memakai gelar tersebut. Inilah masyarakat kita, suatu komunitas yang gila dengan simbol-simbol kebesaran dan gelar, sekalipun mereka tidak berproses untuk mendapatkan gelar ini. Apa boleh buat, masyarakat kita memang sudah rusak di sana sini.
Ketidakmampuan pendidikan menjawab persoalan sosial disebabkan kurikulum pendidikan sebagai ruh dari pendidikan tidak cukup antisipatif. Kurikulum pendidikan terlalu banyak dibebani oleh pesan-pesan politik yang tidak bermanfaat bagi kehidupan seseorang di masa mendatang. Kurikulum tidak dibuat untuk sebuah keberhasilan seseorang di masa mendatang, bahkan dari data empiris kurikulum kita lebih merupakan perangkat untuk mengekang seseorang dari kreatifitas kejeniusannya. Apa yang dikritik Kiyosaki adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa ditutup-tutupi. Kurikulum tidak memberikan jawaban bagaimana para pembelajar hidup di zamannya, kurikulum hanya memberikan narasi tentang sebuah impian kehidupan.
Menurut pakar pendidikan J. Drost, kurikulum kita diperuntukkan bagi anak-anak jenius, karena terlalu banyaknya bobot materi yang harus dikuasai para siswa atau mahasiswa. Hal ikhwal kurikulum kita telah menjadi “gudang titipan” dari berbagai pihak yang berkepentingan dengan masa depannya. Untuk menumbuhkan “jiwa patriotisme” generasi muda, dimasukkanlah mata ajar PSPB pada kurikulum di sekolah, yang terbukti tidak ada apa-apanya terhadap “jiwa patriotisme” tersebut dan akhirnya dihapus kembali. Lihatlah berapa mata kuliah titipan pada kurikulum perguruan tinggi untuk tetap menjaga “jiwa patriot” tersebut! Kurikulum pendidikan harusnya memberi bekal bagi para siswa atau mahasiswa untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depan sesuai dengan prediksi-prediksi dan kecenderungannya.
Kini, akibat banyaknya siswa salah bergaul, disarankan agar pendidikan seks dimasukkan ke dalam kurikulum. Ini terjadi karena ketatnya kurikulum mengatur beban materi yang ada, sehingga guru tidak berkesempatan untuk mengekspresikan diri mencari dan memilih bahan yang diperlukan oleh siswa. Sesungguhnya guru-guru Biologi bisa menyajikannya dalam beberapa sesi pembelajaran atau guru ketatanegaraan dalam beberapa sesi budi pekerti. Ini tidak terjadi, karena mereka dibebani program mati kurikulum tanpa mampu melakukan apresiasi sendiri. Kegamangan ini tampak nyata sekalipun kurikulum disusun oleh para pakar. Dengan demikian, mestinya kurikulum dibebaskan dari pesan-pesan politis dan sosial agar dia benar-benar menjadi ruh pendidikan masa depan.
Itulah tampaknya argumentasi mengapa bagi sebagian orang, seperti halnya Kiyosaki, menyarankan untuk meninggalkan sekolah atau tidak datang ke sekolah bagi mereka yang hendak sukses secara finansial. Sekolah tidak menjanjikan secara finansial, karena di sekolah tidak diajarkan bagaimana uang bekerja untuk kita. Bagi orang-orang seperti Kiyosaki, berangkat ke sekolah hanya menyia-nyiakan waktu, yang sebenarnya akan sangat fungsional apabila dipakai untuk belajar. Memang bertahun-tahun kita bersekolah, separuh dari kehidupan kita dipakai untuk bersekolah dengan alasan untuk meningkatkan kesejahteraan kita. Namun di sekolah kita tidak belajar bagaimana kesejahteraan itu berarti dan bekerja buat kita. Yang ada hanyalah kita bekerja keras untuk (mencari) kesejahteraan. Akibatnya, kita tak menemukan kesejahteraan karena kita menjadi budak dari kesejahteraan tersebut.
Menurut tokoh kecerdasan emosional, Goleman, 20 persen kesuksesan masa depan ditentukan oleh kecerdasan intelektual (IQ), sementara 80 persennya ditentukan oleh faktor lainnya yang dia sebut sebagai kecerdasan emosional (EQ). Ini artinya seseorang yang secara akademis berhasil belum tentu bisa sukses dalam kehidupan ini. Kita mungkin bisa mengambil beberapa teman sebagai contoh yang prestasi akademisnya sangat bagus, namun dia tidak sukses dalam bekerja, karena selalu berselisih dan egois dengan teman di lingkungan kerjanya. Akhirnya dia tidak disenangi sejawatnya dan karena tidak berteman dan merasa dikucilkan akhirnya dia memutuskan keluar dari pekerjaan. Setiap saat dia melakukan yang sama dan dia tidak bisa meniti karier secara baik.
Kalau demikian, apa yang sesungguhnya bisa dilakukan dunia pendidikan untuk kesuksesan seseorang? Secara kuantitatif (ukuran normatif) pendidikan memberikan tempat pada seseorang. Pendidikan memungkinkan seseorang untuk meraih dan membuka kesempatan. Ini tidak dialami oleh orang yang tidak memiliki pendidikan cukup. Pendidikan juga berkontribusi pada watak (karakter) dan cara berpikir seseorang. Manusia-manusia terdidik cenderung lebih rasional dan objektif dalam memandang sesuatu. Demikian pula, secara emosional lebih mapan dan stabil. Inilah beberapa hal yang bisa diberikan pendidikan kepada masyarakat.
Sekolah memang tidak mengajarkan bagaimana hidup dan bagaimana mengantisipasi persoalan dalam hidup. Sekadar memberi bekal agar kita bisa hidup juga kurang memadai. Sistem pendidikan kita masih gamang dalam menangkap ke mana dan bagaimana harus mendidik bangsa ini. Sistem pendidikan kita masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara lain. Memang saatnya kita merekonstruksi kembali sistem pendidikan, terutama kurikulum yang sudah sangat tertinggal. Kurikulum harus diformat untuk kesuksesan masa depan bukan dibuat untuk kegagalan masa depan.

Korban Kejahatan dan Reaksinya


Korban Kejahatan dan Reaksinya

Dindin Abdul Muiz Lidinillah
Pada akhir dekade 80-an terjadi perubahan paradigma dalam pembelajaran matematika yang digagas oleh National Council of Teacher of Mathematics di Amerika pada tahun 1989 yang mengembangkan Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics, dimana pemecahan masalah dan penalaran menjadi salah satu tujuan utama dalam program pembelajaran matematika sekolah termasuk sekolah dasar.
Perubahan paradigma pembelajaran matematika ini kemudian diadaptasi dalam kurikulum di Indonesia terutama mulai dalam Kurikulum 2004 (KBK) dan Kurikulum 2006. Salah satu tujuan pembelajaran matematika sekolah adalah “memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh”. (BSNP, 2006). Oleh karena itu, pemecahan masalah menjadi fokus penting dalam kurikulum matematika sekolah mulai jenjang sekolah dasar sampai sekolah menengah. Penguasaan setiap standar kompetensi selalu dilengkapi dengan suatu kompetensi dasar pemecahan masalah yang berkaitan dengan standar kompetensi tersebut.
Kemampuan memecahkan masalah adalah kemampuan kognitif tingkat tinggi. Sukmadinata dan As’ari (2005 : 24) menambahkan tahap berpikir pemecahan masalah setelah tahap evaluasi yang menjadi bagian dari tahapan kognitif Bloom. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan memecahkan masalah adalah kemampuan kognitif tingkat tinggi.
Keberhasilan proses pembelajaran menggunakan pendekatan pemecahan masalah sangat bergantung kepada guru dalam meramu strategi pembelajaran. Guru dituntut untuk mampu mengembangkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dengan melatih siswa untuk menggunakan strategi-strategi pemecahan masalah. Masalah yang disajikan pada siswa bisa berupa soal matematika tidak rutin, soal cerita, masalah terbuka, teka-teki atau eksplorasi.
Pembelajaran pemecahan masalah di sekolah dasar tentunya tidaklah semudah dengan dibayangkan, hal ini terutama karena kemampuan pemecahan masalah sebagai tahap berpikir tingkat tinggi, sementara siswa sekolah dasar masih dalam tahap Opreasional Konkrit menurut Piaget atau Enaktif menurut Bruner. Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk mengatasi kesenjangan ini melalui pembelajaran pemecahan masalah yang sesuai dan patut dengan siswa sekolah dasar.
Akan tetapi sering terlihat kenyataan di lapangan, guru cenderung hanya mengajarkan strategi pemecahan masalah yang kaku seperti menetapkan apa yang diketahui, ditanya dan membuat jawaban. Strategi ini secara teknis terlihat efektif tetapi justru disinilah letak berbagai kesulitan siswa muncul terutama untuk siswa kelas rendah. Guru hanya menuntut siswa untuk menyelesaikan soal dengan cara paper and pencil saja tanpa melatih strategi-strategi khusus serta tanpa menggunakan media yang layak digunakan oleh siswa dalam memecahkan masalah. Jika hal ini terjadi, maka akan terjadi kesenjangan antara pemecahan masalah sebagai tahap berpikir tingkat tinggi dengan cara berpikir siswa yang masih berpikir secara konkrit sehingga muncullah kesulitan-kesulitan yang terjadi oleh siswa.
Pentingnya penggunaan media atau alat benda manipulatif dalam kegiatan pemecahan masalah mendorong ditulisnya makalah ini yang memfokuskan kepada topik ”Penggunaan Alat Peraga Manipulatif dalam Pembelajaran Pemecahan Masalah Matematika di Sekolah Dasar.”
Agar pemaparan makalah ini lebih terfokus, perlu merumuskan topik-topik permasalahan. Oleh karena itu, topik-topik permasalahan dalam makalah ini adalah tentang : 1) pengertian masalah dan pemecahan masalah matematika; 2) pembelajaran pemecahan masalah matematika di sekolah dasar; dan 3) penggunaan alat peraga manipulatif dalam pembelajaran pemecahan masalah matematika di sekolah dasar.
PENGERTIAN MASALAH DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA
Pengertian Masalah Matematika
Moursund (2005:29) menyatakan bahwa seseorang dianggap memiliki atau mengalami masalah bila menghadapi empat kondisi berikut, yaitu :
ô€‚ƒMemahami dengan jelas kondisi atau situasi yang sedang terjadi.
ô€‚ƒMemahami dengan jelas tujuan yang diharapkan. Memiliki berbagai tujuan untuk menyelesaikan masalah dan dapat mengarahkan menjadi satu tujuan penyelesaian.
ô€‚ƒMemahami sekumpulan sumber daya yang dapat dimafaatkan untuk mengatasi situasi yang terjadi sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Hal ini meliputi waktu, pengetahuan, keterampilan, teknologi atau barang tertentu.
ô€‚ƒMemiliki kemampuan untuk menggunakan berbagai sumber daya untuk mencapa tujuan.
Dalam pembelajaran matematika, masalah dapat disajikan dalam bentuk soal tidak rutin yang berupa soal cerita, penggambaran penomena atau kejadian, ilustrasi gambar atau teka-teki. Masalah tersebut kemudian disebut masalah matematika karena mengandung konsep matematika. Terdapat beberapa jenis masalah matematika, walaupun sebenarnya tumpang tindih, tapi perlu dipahami oleh guru matematika ketika akan menyajikan soal matematika. Menurut Hudoyo (1997:191), jenis-jenis masalah matematika adalah sebagai berikut :
ô€‚ƒMasalah transalasi, merupakan masalah kehidupan sehari-hari yang untuk menyelesaikannya perlu translasi dari bentuk verbal ke bentuk matematika.
ô€‚ƒMasalah aplikasi, memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan masalah dengan menggunakan berbagai macam-maacam keterampilan dan prosedur matematika.
ô€‚ƒMasalah proses, biasanya untuk menyusun langkah-langkah merumuskan pola dan strategi khusus dalam menyelesaikan masalah. Masalah seperti ini dapat melatih keterampilan siswa dalam menyelesaikan masalah sehingga menjadi terbiasa menggunakan strategi tertentu.
ô€‚ƒMasalah teka-teki, seringkali digunakan untuk rekreasi dan kesenangan sebagai alat yang bermanfaat untuk tujuan afektif dalam pembelajaran matematika.
Pemecahan Masalah Matematika
Sukmadinata dan As’ari (2006 : 24) menempatkan pemecahan masalah pada tahapan berpikir tingkat tinggi setelah evaluasi dan sebelum kerativitas yang menjadi tambahan pada tahapan berpikir yang dikembangkan oleh Anderson dan Krathwohl (dalam Sukmadinata dan As’ari, 2006 : 24).
Menurut Polya seperti dikutip oleh Moursund (2005:30) dari bukunya yang berjudul The Goals of Mathematical Education (Polya, 1969) :
Memahami matematika berarti mampu untuk bekerja secara matematik. Dan bagaimana kita bisa bekerja secara matematik ? Yang paling utama adalah dapat menyelesaikan masalah-masalah matematika. Lebih dari itu berkenaan dengan pembicaraan tentang berbagai cara untuk menyelesaikan masalah, harus memiliki sikap yang baik dalam menghadapi masalah dan mampu mengatasi berbagai jenis masalah, tidak hanya masalah yang sederhana yang bisa diselesaikan hanya dengan keterampilan setingkat sekolah dasar, tetapi dapat menyelesaikan masalah yang lebih komplek pada bidang teknik, fisika dan sebagainya, yang akan dikembangkan pada sekolah tinggi. Tetapi dasar-dasarnya harus dimulai di sekolah dasar. Dan juga saya berfikir bahwa hal yang penting di sekolah dasar adalah mengenalkan kepada siswa cara-cara menyelesaikan masalah. Tidak hanya untuk memecahkan berbagai bentuk masalah saja dan tidak hanya dapat berbuat sesuatu, tetapi untuk mengembangkan sikap umum dalam menghadapi masalah dan menyelesaikannya. (terjemahan).
Polya (dalam Sonnabend, 1993:56) juga mengatakan bahwa :
Pemecahan masalah adalah aspek penting dalam intelegensi dan intelegensi adalah anugrah khusus buat manusia : pemecahan masalah dapat dipahami sebagai karakteristik utama dari kegiatan manusia … kamu dapat mempelajarinya dengan melakukan peniruan dan mencobanya langsung.
Buku Polya yang pertama yaitu How To Solve It (1945) menjadi rujukan utama dan pertama tentang berbagai pengembangan pembelajaran pemecahan masalah terutama masalah matematika. Menurut Polya (Suherman et.al., 2001 : 84), solusi soal pemecahan masalah memuat empat langkah penyelesaian, yaitu : (1) pemahaman terhadap permasalahan; (2) Perencanaan penyelesaian masalah; (3) Melaksanakan perencanaan penyelesaian masalah; dan (4) Melihat kembali penyelesaian.
Sedangkan menurut Schoenfeld (Goos et.al., 2000 : 2) terdapat 5 episode dalam memecahkan masalah, yaitu Reading, Analisys, Exploration, Planning/Implementation, dan Verification. Artzt & Armour-Thomas (Goos et.al, 2000 : 2) telah mengembangkan langkah-langkah pemecahan masalah dari Schoenfeld, yaitu menjadi Reading, Understanding, Analisys, Exploration, Planning, Implementation, dan Verification. Langkah-langkah penyelesaian masalah tersebut sebenarnya merupakan pengembangan dari 4 langkah Polya. Sementara itu, Krulik dan Rudnik (1995) mengenalkan lima tahapan pemecahan masalah yang mereka sebut sebagai Heuristik. Heuristik adalah langkah-langkah dalam menyelesaikan sesuatu tanpa ada keharusan untuk dilakukan secara berurutan. Krulik dan Rudnik (1995) mengkhususkan langkah ini dapat diajarkan di sekolah dasar. Lima langkah tersebut adalah :
ô€‚ƒRead and Think (Membaca dan Berpikir) : mengidentifikasi fakta, mengidentifikasi pertanyaan, memvisualisasikan situasi, menjelaskan setting, dan menentukan tindakan selanjutya
ô€‚ƒExplore and Plan (Ekplorasi dan Merencanakan) : mengorganisasikan informasi, mencari apakah ada informasi yang sesuai/diperlukan, mencari apakah ada informasi yang tidak diperlukan, mengambar/mengilustrasikan model masalah, serta membuat diagram, tabel, atau gambar.
ô€‚ƒSelect a Strategy (Memilih Strategi) : menemukan/membuat pola, bekerja mundur, coba dan kerjakan, simulasi atau eksperimen, penyederhanaan atau ekspansi, membuat daftar berurutan, deduksi logis, serta membagi atau mengkategorikan permasalahan menjadi masalah sederhana
ô€‚ƒFind an Answer (Mencari Jawaban) : memprediksi, menggunakan kemampuan berhitung, menggunakan kemampuan aljabar, menggunakan kemampuan geometris, serta menggunakan kalkulator jika diperlukan
ô€‚ƒReflect and Extend (Refleksi dan Mengembangkan) : memeriksa kembali jawaban, menentukan solusi alternatif, mengembangkan jawaban pada situasi lain, mengembangkan jawaban (generalisasi atau konseptualisasi), mendiskusikan jawaban, serta menciptakan variasi masalah dari masalah yang asal.
Konsep Pembelajaran Pemecahan Masalah Matematika di SD
Sanjaya (2006:15) membedakan antara mengajar memecahkan masalah dengan pemecahan masalah sebagai suatu strategi pembelajaran. Mengajar memecahkan masalah adalah mengajar bagaimana siswa memecahkan suatu persoalan, misalkan memecahkan soal-soal matematika. Sedangkan strategi pembelajaran pemecahan masalah adalah teknik untuk membantu siswa agar memahami dan menguasi materi pembelajaran dengan menggunakan strategi pemecahan masalah. Perbedaannya terdapat pada kedudukan pemecahan masalah apakah sebagai konten atau isi pelajaran atau sebagai strategi.
Strategi pembelajaran pemecahan masalah bisa dalam hal pendekatan pembelajaran atau metode pembelajaran. Pendekatan pembelajaran adalah cara yang ditempuh guru dalam pelaksanaan pembelajaran agar konsep yang disajikan bisa beradaptasi dengan siswa. Ada dua jenis pendekatan yaitu pendekatan yang bersifat metodologi dan yang bersifat materi. Metode pembelajaran adalah cara menyajikan materi yang masih bersifat umum. Dalam pembelajaran matematika, pembelajaran dengan pendekatan pemecahan masalah berarti guru menyajikan materi pelajaran dengan mengarahkan siswa kepada pemanfaatan strategi pemecahan masalah dalam memahami materi pelajaran dan dalam menyelesaikan soal-soalnya. Materi pelajaran dipandang sebagai sekumpulan masalah yang harus dipahami dan diselesaiakan. Sedangkan metode pemecahan masalah lebih sempit lagi, yaitu bagaimana guru menyajikan soal-soal sebagai masalah yang harus dipecahkan dengan strategi pemecahan masalah.
Dalam makalah ini, makna pembelajaran pemecahan masalah dibatasi sebagai proses belajar mengajar yang menjadikan pemecahan masalah sebagai konten dari pembelajaran. Siswa diajarkan tentang strategi pemecahan masalah dengan memberikan berbagai contoh soal yang berkaitan dengan konsep-konsep matematika yang dapat dan harus diselesaikan melalui strategi pemecahan masalah. Strategi pemecahan yang dimaksud adalah strategi-strategi yang digunakan untuk menyelesaikan soal tertentu seperti diantaranya yang dipaparkan pada langkah pemilihan strategi dalam pemecahan masalah (h.4).
Dalam perkembangan teori-teori pembelajaran, pembelajaran pemecahan masalah ini dapat dipraktekkan seperti melalui pendekatan pembelajaran open ended, problem based learning (PBL), atau metode pembelajaran yang secara khusus mengajarkan strategi-strategi pemecahan masalah. Khususnya di SD, masalah matematika sering disajikan dalam bentuk soal cerita, soal tidak rutin, teka-teki, atau pola bilangan. Tetapi dalam buku-buku teks pembelajaran yang sering digunakan adalah soal cerita ditambah dengan ilustrasi gambar.
Pembelajaran Pemecahan Masalah yang Efektif
Karena pemecahan masalah dianggap sulit untuk diajarkan dan dipelajari, maka berbagai penelitian banyak mengkaji hal ini. Fokus penelitiannya adalah tentang : karakteristik masalah; karakteristik siswa yang mampu dan tidak mampu menyelesaikan masalah; serta strategi-stratagi pembelajaran pemecahan masalah.
Berikut ini adalah beberapa hasil penelitian tersebut yang dirangkum dalam Reys et.al.(1989).
ô€‚ƒStrategi pemecahan masalah secara khusus harus diajarkan sampai siswa dapat memecahkan masalah dengan benar.
ô€‚ƒTidak ada strategi yang optimal untuk memecahkan seluruh masalah (soal). Beberapa strategi sering digunakan daripada yang lainnya dalam setiap tahapan pemecahan masalah.
ô€‚ƒGuru harus mengajarkan berbagai strategi kepada siswa untuk dapat menyelesaikan berbagai bentuk masalah. Siswa harus dilatih menggunakan suatu strategi untuk berbagai jenis soal, atau menggunakan beberapa strategi untuk suatu soal.
ô€‚ƒSiswa perlu dihadapkan pada masalah dengan cara pemecahan yang belum dikuasainya (tidak biasa), dan mereka harus didorong untuk mencoba berbagai alternatif pendekatan pemecahan.
ô€‚ƒPrestasi atau kemampuan siswa dalam memecahkan masalah berhubungan dengan tahap perkembangan siswa. Oleh karena itu, tingkat kesukaran masalah yang diberikan harus sesuai/patut dengan siswa.
Menurut Reys, et.al. (1989), agar mengajar pemecahan masalah lebih efektif, maka guru perlu memahami faktor-faktornyanya, yaitu : waktu, perencanaan, sumber belajar-media, teknologi, serta pengelolaan kelas. Waktu yang direncanakan harus efektif dan sesuai dengan kemampuan serta proses berpikir siswa. Sebaiknya guru mampu memperkirakan waktu yang diperlukan oleh siswa dalam menyelesaikan suatu soal maupun beberapa soal.
Seluruh tahapan pembelajaran harus dipersiapkan dengan baik meliputi : strategi guru, sumber belajar : alat peraga atau media, serta teknologi. Menurut Piaget (Reys, et.al., 1989), karakteristik siswa sekolah dasar masih berpikir operasional konkrit atau menurut Bruner (Reys, et.al., 1989), masih dalam tahap enaktif dan ikonik. Oleh karena itu, guru perlu menyiapkan alat-alat peraga manipulatif bagi siswa untuk digunakan dalam membantu memahami dan memecahkan masalah.
Kemampuan guru dalam mengelola kelas termasuk mengelola aktivitas siswa juga sangat penting dalam hal ini. Guru dapat merancang kegiatan pembelajaran pemecahan masalah baik secara individu, klasikal ataupun kelompok. Kegiatan pemecahan masalah lebih cocok dengan seting kerja kelompok dimana siswa saling bertukar pengetahuan dan kemampuan dalam memecahkan masalah. Hal ini tidak hanya dimaksudkan untuk efektivitas pembelajaran, tetapi juga agar siswa terbiasa bekerja sama dalam menyelesaikan suatu permasalahan.
Penilaian dalam Pemecahan Masalah
Penilaian untuk pemecahan masalah dianggap lebih sulit daripada penilaian untuk kemampuan kognitif lainnya karena harus mampu menilai keseluruhan proses pemecahan masalah disamping hasilnya. Penilaian untuk pemecahan masalah harus berdasarkan tujuan. Jika soal disajikan dalam bentuk masalah rutin dan non rutin, maka penilaian yang dilakukan berkaitan dengan keduanya.
Menurut Reys, et.al. (1989), beberapa metode penilaian yang dapat dilakukan adalah : observasi, inventori dan ceklis, dan paper and pencil test. Ketiga alat penilaian ini dapat digunakan bersama-sama atau salah satunya bergantung kepada tujuan penilaiannya. Sementara Krulik dan Rudnik (1995) menyebutkan beberapa metode penilaian yang dapat digunakan, yaitu : observasi, jurnal metakognitif, paragraf kesimpulan (summary paragraph), test, dan portofolio.
Tes yang dilakukan dapat berbentuk pilihan ganda, masalah masalah terbuka (open ended), dan pertanyaan kinerja untuk mengetahui apakah siswa dapat menyelesaikan masalah dengan lengkap atau tidak. Penilaian terhadap tes kinerja dapat menggunakan rubrik baik rubrik holistik maupun rubrik analitik.
Penggunaan Alat Peraga Manipulatif dalam pembelajaran Pemecahan Masalah di SD
Early examples of the benefits of a manipulative-based mathematics program can be seen in kindergarten and primary classrooms where young children are using manipulatives, such as Algebocks, to learn algebraic concepts such as patterns and functions. In turn, bubbleology and materials, like Zometools, plastic Polydrons, and connected drinking straws, are helping very young children learn about the properties of angle, shape, and congruence in geometry. (Kelly, 2006)
Berbagai teori belajar yang membahas tentang anak usia sekolah dasar terutama yang berkaitan dengan kemampuan kognitif yang menunjang dalam pembelajaran matematika menegaskan bahwa pembelajaran matematika harus mampu menjembatani kemampuan berpikir anak yang masih operasional konkrit (teori Piaget) dengan matematika yang secara konseptual abstrak.
Pada usia ini anak dapat berpikir logis tetapi secara perseptual orientasinya masih dibatasi dengan realitas fisik (Piaget, dalam Reys, dkk., 1989). Sementara menurut Bruner (Reys, et.al., 1989), anak melakukan manipulasi objek, mengkonstruksi, menyusun objek konkrit. Anak berinteraksi secara langsung dengan benda fisik. Pada tahap yang lebih tinggi anak mulai mampu menggunakan gambar untuk memahami situasi.
Gambaran tentang perkembangan anak seperti itu sesuai dengan kondisi usia siswa sekolah dasar. Oleh karena itu, penggunaan alat peraga dalam pembelajaran matematika merupakan suatu tuntutan yang penting. Kelly (2006), seperti dikutip pada bagian awal bab ini, mengutarakan berbagai hasil penilitian yang menunjukkan bahwa peran alat peraga manipulatif dalam pembelajaran matematika dapat membantu anak dalam memahami konsep-konsep matematika yang abstrak.
Pengertian Alat Peraga Manipulatif
Alat peraga manipalatif dalam hal ini merupakan bagian dari media pembelajaran yang berupa alat. Kelly (2006) menyatakan bahwa :
“The term, manipulative, will be defined as any tangible object, tool, model, or mechanism that may be used to clearly demonstrate a depth of understanding, while problem solving, about a specified mathematical topic or topics”
Menurut pengertian tersebut, alat peraga manipulatif (manipilative) tidak lebih berupa benda-benda, alat-alat, model, atau mesin yang dapat digunakan untuk membantu dalam memahami selama proses pemecahan masalah yang berkaitan dengan suatu konsep atau topik matematika.
Orang tua di rumah biasanya menyediakan berbagai mainan atau benda-benda untuk dimainkan oleh anak, tetapi tidak selamanya mainan atau benda-benda tersebut dapat digunakan untuk menanamkan konsep-konsep matematika. Benda-benda tersebut adalah murni mainan untuk memuat anak senang. Tetapi jika benda-benda tersebut berupa bentuk-bentuk geometri dengan aneka warna dan aneka ukuran, maka dapat dianggap sebagai benda manipulatif yang dapat menunjang terhadap proses belajar matematika.
Alat Peraga Manipulatif dalam Pemecahan Masalah Matematika
Secara alamiah, anak selalu berhadapan dengan masalah setiap saat, karena sebagian besar yang dihadapinya adalah hal yang baru. Sesuai dengan tahap perkembangannya, anak mengatasi dan memecahkan masalah melalui aktivitas yang berinteraksi langsung dengan benda-benda atau lingkungan secara nyata. Itulah cara anak belajar memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
Anak usia sekolah dasar terutama di kelas rendah, masih cenderung berpikir konkrit dalam memahami suatu situasi. Oleh karena itu, untuk memahami situasi atau masalah dengan baik anak perlu bantuan alat peraga manipulatif. Alat peraga ini tidak hanya membantu memahami tetapi juga sebagai media untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.
Russer (Kelly, 2006) mengutarakan bahwa “children are active individuals who genuinely construct and modify their mathematical knowledge and skills through interacting with the physical environment, materials, teachers, and other children”. Maksudnya, anak cenderung akan lebih aktif dalam membangun dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan matematikanya dengan menggunakan alat peraga manipulatif selama aktivitas belajar baik secara formal maupun saat bermain bebas.
Sebagai contoh, siswa disediakan benda-benda konkrit untuk digunakan dalam menyelesaikan soal-soal cerita tentang operasi-operasi bilangan cacah. Model-model bangun geometri digunakan siswa untuk mengetahui sifat-sifat bangun geometri melalui kegiatan eksplorasi atau eksperimen.
Dalam menggunakan alat peraga manipulatif, guru harus menggunakannya secara efektif agar memperoleh manfaat yang baik. Guru perlu mengetahui kapan, kenapa, dan bagaimana menggunakan alat peraga manipulatif secara fektif di ruang kelas, meliputi kemungkinan dapat diamati (dinilai), dapat digunakan dengan baik, serta pengaruhnya dalam membantu proses belajar melalui eksplorasi alat peraga tersebut.
Kelly (2006) menyajikan suatu standar penggunaan alat peraga manipulatif dalam pembelajaran matematika khususnya dalam pemecahan masalah agar penggunaan dapat efektif, yaitu :
ô€‚ƒAlat peraga memuat petunjuk penggunaan dan pemeliharan yang jelas.
ô€‚ƒAlat peraga mengandung hubungan yang jelas dengan suatu konsep Matematika.
ô€‚ƒPenggunaan alat peraga diarahkan secara kerjasama atau kelompok kerja untuk membantu meningkatkan pemahaman matematikanya.
ô€‚ƒGuru mengatur waktu kegiatan eksplorasi siswa dengan baik agar siswa terbiasa mengatur waktu dalam belajar.
ô€‚ƒAlat peraga sebaiknya variatif dalam bentuk, ukuran, warna serta tingkatan pemahaman konsep yang diharapkan.
ô€‚ƒAlat peraga dapat digunakan dengan berbagai cara dalam memecahkan masalah untuk menumbuhkan kreativitas siswa.
ô€‚ƒGuru mendukung dan respek terhadap penggunaan alat peraga manipulatif dalam pembelajaran matematika agar siswa pun memiliki sikap yang baik terhadap pembelajaran matematika menggunakan alat peraga.
ô€‚ƒGuru menjamin ketersediaan alat peraga yang dibutuhkan siswa serta mudah untuk digunakan (diakses).
ô€‚ƒGuru mampu mengatasi kesulitan atau resiko yang terjadi dari penggunaan alat peraga.
ô€‚ƒGuru melaksanakan penilaian berbasis kinerja (performent-based assessment).
Standar-standar ini diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pembelajaran pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika.
Berkaitan dengan penilaian yang dilakukan, karena pembelajaran menggunakan alat peraga manipulatif, maka penilaian yang tepat adalah penilaian berbasis kinerja baik untuk menilai siswa selama bekerja dengan alat peraga manipulatif atau untuk menilai kemampuan siswa memecahkan masalah. Alat penilaian yang dapat digunakan adalah berupa rubrik baik rubrik analitik maupun rubrik holistik. Oleh karena itu, teknik penilaiannya bisa dengan observasi, portofolio dan inventori. Selain itu, tes tertulis pun dapat digunakan untuk mengetahui sejauhmana perkembangan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika atau kemampuan penguasaan suatu konsep matematika.
PENUTUP
Pemecahan masalah adalah suatu kemampuan yang harus dikuasai oleh siswa, seiring dengan perubahan paradigma pembelajaran matematika dari fokus terhadap kemampuan berhitung dan rumus menjadi fokus terhadap kemampuan siswa dalam menggunakan konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah dalam kehidupan mereka. Pemecahan masalah telah menjadi bagian dari tujuan pembelajaran matematika dalam kurikulum saat ini mulai dari jenjang sekolah dasar.
Guru sebagai pihak yang paling berperan dalam pembelajaran, perlu mengusai tidak hanya pemecahan masalah secara konseptual tetapi juga secara praktiknya. Perubahan paradigma pembelajaran matematika ini membutuhkan kemampuan guru baik dalam merencanakan, melaksanakan dan menilai pembelajaran pemecahan masalah.
Berbagai masalah yang muncul dapat disebabkan oleh persepsi guru yang belum benar tentang pemecahan masalah dan pembelajarannya sehingga berimplikasi terhadap pembelajarannya. Sebab lain dapat didorong oleh beban pembelajaran yang padat berdasarkan kurikulum sehingga tidap punya waktu banyak untuk melaksanakan aktivitas pemecahan masalah. Padahal aktivitas pemecahan masalah membutuhkan waktu yang lebih banyak apalagi dalam model pembelajaran kelompok.
Pembelajaran pemecahan masalah sebagai suatu aktivitas matematika di sekolah dasar perlu ditunjang oleh alat peraga yang dapat dimanipulasi oleh siswa selama proses memecahkan masalah. Kenayataannya di lapangan adalah bahwa pembelajaran startegi pemecahan masalah cenderung mekanistik verbalis, hal ini kurang sesuai dengan tahapan berpikir siswa yang masih konkrit operasional.
Ketersediaan media dan alat peraga sangat menunjang bagi pembelajaran pemecahan masalah untuk menjembatani kemampuan pemecahan masalah sebagai kemampuan kognitif tingkat tinggi dengan kemampuan berpikir siswa sekolah dasar yang masih konkrit.
Peran alat peraga manipulatif dalam pembelajaran matematika terutama pada aktivitas pemecahan masalah tidak sama seperti benda-benda mainan anak, tetapi lebih sebagai suatu kebutuhan yang menunjang dalam pembelajaran matematika agar lebih efektif, mengingat matematika memuat konsep-konsep yang abstrak.
Pentingnya penggunaan alat peraga manipulatif dalam pembelajaran matematika, menuntut guru untuk menyediakan dan menggunakan alat peraga manipulatif sesuai dengan standar-standar yang diacu agar pembelajaran matematika lebih efektif dan mampu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa.
Mengakhiri tulisan ini, penulis mengakui bahwa makalah ini memuat tidak sedikit kekurangan dan kelemahan, berawal dari kesederhanaan topik bahasan dan terutama nilai dari pesan-pesan yang terungkap pada makalah ini. Tetapi mudah-mudahan, tema yang sederhana ini mampu untuk memberikan pengayaan dalam usaha meningkatkan kualitas pembelajaran matematika di sekolah dasar, dan selebihnya untuk memperdalam wawasan penulis tentang tema yang terkait.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, N.(——).Penerapan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Intruction) dalam Pembelajaran Matematika di SMU. Gorontalo : Universitas Negeri Gorontalo
Ashton, S.C. (——).Teaching Mathematic Problem Solving with a Workshop Approach and Literature. Virginia : College of William and Mary Williamsburg. [online] tersedia http://www.wm.edu/… /Ashton.pdf
Goos, et.al.(2000). A Money Problem : A Source of Insight Into Problem Solving Actioan. Queensland : The University of Queensland [online]. Tersedia http://www.cimt.plymouth.ac.uk/jornal/pgmoney.pdf
Hudoyo dan Sutawijaya. (1998). Pendidikan Matematika I. Jakarta. Dirjen Dikti Depdiknas
Jonassen, D.(2000). Toward a Design Theory of Problem Solving To Appear in Educational Technologi : Research and Depelopement. [online] http://www.coe.missouri.edu/~jonassen/PSPaper%20 final.pdf
Kelly, Catherine A.(2006). Using Manipulative in Mathematical Problem Solving : A Performance Based Analysis. [online]. Tersedia
Krulik, Sthepen dan Rudnick, Jesse A. (1995). The New Sourcebook for Teaching Reasoning and Problem Solving in Elementary School. Temple University : Boston.
Marsound, D. (2005). Improving Math Education in Elementary School : A Short Book for Teachers. Oregon : University of Oregon. [online]. Tersedia http://darkwing.uoregon.edu/…/ElMath.pdf
Ruseffendi, E.T. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar khususnya dalam Pengajaran Matematika untuk Guru dan Calon Guru. Bandung: Tarsito.
Sanjaya, Wina. (2007). Kajian Kurikulum dan Pembelajaran. SPs UPI : Bandung
Suherman dkk .(2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Jurusan Pendidikan Matematika UPI. Bandung
Sukmadinata & As’ari.(2006).Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di PT. Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak diterbitkan.

Permasalahan Guru di Indonesia


Dalam dunia pendidikan, keberadaan peran dan fungsi guru merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan. Guru merupakan bagian terpenting dalam proses belajar mengajar, baik di jalur pendidikan formal, informal maupun nonformal. Oleh sebab itu, dalam setiap upaya peningkatan kualitas pendidikan di tanah air, guru tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal yang berkaitan dengan eksistensi mereka.
Filosofi sosial budaya dalam pendidikan di Indonesia, telah menempatkan fungsi dan peran guru sedemikian rupa sehingga para guru di Indonesia tidak jarang telah di posisikan mempunyai peran ganda bahkan multi fungsi. Mereka di tuntut tidak hanya sebagai pendidik yang harus mampu mentransformasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus sebagai penjaga moral bagi anak didik. Bahkan tidak jarang, para guru dianggap sebagai orang kedua, setelah orang tua anak didik dalam proses pendidikan secara global.
Saat ini setidak-tidaknya ada empat hal yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi guru di Indonesia, yaitu : pertama, masalah kualitas/mutu guru, kedua, jumlah guru yang dirasakan masih kurang, ketiga, masalah distribusi guru dan masalah kesejahteraan guru.
1. Masalah Kualitas Guru
Kualitas guru Indonesia, saat ini disinyalir sangat memprihatinkan. Berdasarkan data tahun 2002/2003, dari 1,2 juta guru SD saat ini, hanya 8,3%nya yang berijasah sarjana. Realitas semacam ini, pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas anak didik yang dihasilkan. Belum lagi masalah, dimana seorang guru (khususnya SD), sering mengajar lebih dari satu mata pelajaran (guru kelas) yang tidak jarang, bukan merupakan inti dari pengetahuan yang dimilikinya, hal seperti ini tentu saja dapat mengakibatkan proses belajar mengajar menjadi tidak maksimal.
2. Jumlah Guru yang Masih Kurang
Jumlah guru di Indonesia saat ini masih dirasakan kurang, apabila dikaitkan dengan jumlah anak didik yang ada. Oleh sebab itu, jumlah murid per kelas dengan jumlah guru yag tersedia saat ini, dirasakan masih kurang proporsional, sehingga tidak jarang satu raung kelas sering di isi lebih dari 30 anak didik. Sebuah angka yang jauh dari ideal untuk sebuah proses belajar dan mengajar yang di anggap efektif. Idealnya, setiap kelas diisi tidak lebih dari 15-20 anak didik untuk menjamin kualitas proses belajar mengajar yang maksimal.
3. Masalah Distribusi Guru
Masalah distribusi guru yang kurang merata, merupakan masalah tersendiri dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di daerah-daerah terpencil, masing sering kita dengar adanya kekurangan guru dalam suatu wilayah, baik karena alasan keamanan maupun faktor-faktor lain, seperti masalah fasilitas dan kesejahteraan guru yang dianggap masih jauh yang diharapkan.
4. Masalah Kesejahteraan Guru
Sudah bukan menjadi rahasia umum, bahwa tingkat kesejahteraan guru-guru kita sangat memprihatinkan. Penghasilan para guru, dipandang masih jauh dari mencukupi, apalagi bagi mereka yang masih berstatus sebagai guru bantu atau guru honorer. Kondisi seperti ini, telah merangsang sebagian para guru untuk mencari penghasilan tambahan, diluar dari tugas pokok mereka sebagai pengajar, termasuk berbisnis di lingkungan sekolah dimana mereka mengajar. Peningkatan kesejahteaan guru yang wajar, dapat meningkatkan profesinalisme guru, termasuk dapat mencegah para guru melakukan praktek bisnis di sekolah.
Kedudukan, Fungsi, Tugas, dan Tujuan Seorang Guru
Bab II Pasal 2 Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, menyebutkan bahwa: (1) Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud.
Maksud dari ayat di atas menyebutkan bahwa guru adalah orang yang mendalami profesi sebagai pengajar dan pendidik, mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk memberikan kontribusi. Umumnya guru merujuk pada pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih dan mengevaluasi hasil belajar siswa peserta didiknya. Tugas guru yang diemban timbul dari rasa percaya masyarakat terdiri dari mentransfer kebudayaan dalam arti yang luas, ketrampilan menjalani kehidupan (Life skills), terlibat dalam kegiatan-kegiatan menjelaskan, mendefinisikan, membuktikan dan mengklasifikasikan, selain harus menunjukkan sebagai orang yang berpengetahuan luas, trampil dan sikap yang bisa dijadikan panutan. Maka dari itu, guru harus memiliki kompetensi dalam membimbing siswa untuk siap menghadapi kehidupan yang sebenarnya (The real life) dan bahkan mampu memberikan keteladanan yang baik.
Undang-Undang No 14 tahun 2005, pasal 4 mengisyaratkan bahwa Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran yang berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Pasal 6 menyebutkan bahwa Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Di samping itu guru mempunyai tugas utama sebagai berikut:
a) menyusun perencanaan pembelajaran;
b) menyampaikan perencanaan;
c) melakukan hubungan baik dengan sesama teman seprofesi, maupun dengan masyarakat;
d) mengelola kelas yang disesuaikan dengan karakterstik peserta didik;
e) melakukan penelitian dan inovasi dalam pendidikan, dan memanfaatkan hasilnya untuk kemajuan pendidikan;
f) mendidik siswa sehingga mereka menjadi manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika, bangsa, masyarakat, dan agama;
g) melaksanakan program bimbingan konseling, dan administrasi pendidikan;
h) mengembangkan diri dalam wawasan, sikap, dan ketrampilan profesi; dan
i) memanfaatkan teknologi, lingkungan, budaya, dan sosial, serta lingkungan alam dalam proses belajar.

PROFESIONALISME GURU DAN PERMASALAHANNYA


bagaimana cara belajar fisika sma yang menyenangkan