Tuesday, March 15, 2011

Home » » Pendidikan dan Kejeniusan Finansial

Pendidikan dan Kejeniusan Finansial


Pendidikan dan Kejeniusan Finansial 
Oleh Dadang S. Anshori
Istilah kejeniusan finansial (financial Intellegent) pertama kali dilontarkan oleh Robert T. Kiyosaki (1997) dalam buku best seller-nya, Rich Dad, Poor Dad. Buku ini merupakan buku keduanya setelah buku pertamanya yang sangat menarik, If You Want To Be Rich and Happy, Don’t Go To School. Kiyosaki adalah generasi keempat dari pasangan Amerika-Jepang yang sangat jenius di bidang bisnis. Orang-orang menyebutnya sebagai Bapak Para Jutawan. Kritiknya yang paling tajam terhadap sekolah dan finansial adalah “Alasan utama orang bersusah payah secara finansial adalah karena mereka menghabiskan waktu bertahun-tahun di sekolah tetapi tidak belajar apa pun tentang uang. Hasilnya adalah bahwa orang belajar untuk mencari uang… tetapi tidak pernah belajar agar uang bekerja untuk mereka.”
Rich Dad Poor Dad, adalah sebuah narasi tentang pendidikan finansial yang dilakoni Kiyosaki dari kedua ayahnya. Dia menyaksikan dua fenomena yang berbeda dari kedua ayahnya. Ayahnya yang terdidik dengan gelar Ph.D. mengajarkan agar Kiyosaki menjadi anak yang pintar dan mendapat ranking teratas agar bisa masuk perguruan tinggi exelent yang akhirnya mendapatkan pekerjaan yang prospektif kariernya. Ayahnya ini meyakini hanya dengan belajar keras dia akan menjadi orang sukses dan bekerja pada perusahaan besar yang menjanjikan karier yang hebat. Ayahnya yang lain, hanya lulus SMP dan dia mengajarkan agar mencari sesuatu di luar sekolah andaikan Kiyosaki ingin menjadi kaya. Ayahnya yang kedua inilah yang meyakinkan Kiyosaki bahwa sekolah tidak memberikan jawaban terhadap masa depannya. Namun demikian, Kiyosaki tetap berpandangan bahwa pendidikan itu perlu bagi fase kehidupan seseorang. Bagi Kiyosaki prilaku hidup ayahnya yang terdidik adalah prototipe masyarakat miskin, sementara ayahnya yang kedua mencerminkan sikap dan prilaku orang kaya. Orang miskin tidak pernah mengajarkan bagaimana memperkerjakan uang, hal yang dilakukan orang kaya kepada anaknya. Orang miskin hanya mengajarkan bagaimana anak-anak mereka mencari dan mendapatkan uang sebanyak-banyaknya.
Sebagaimana diakui penulis kenamaan Zig Ziglar, buku ini memang sangat rasional untuk pendidikan finansial, bagi siapapun. Namun tentu, pengalaman dalam buku ini bersifat kasuistik. Setiap orang sukses, sebagaimana Kiyosaki, memiliki pengalaman bagaimana mereka menjadi sukses menuju kaya. Fadel Muhammad, untuk kasus Indonesia, adalah model yang representatif sebagaimana ia tulis dalam bukunya, Mengapa Memilih Menjadi Pengusaha. Model-model pengalaman semacam ini sangat bermanfaat bagi generasi muda yang hendak mengikuti jejak menjadi pengusaha atau paling tidak merintis menjadi wirausahawan. Yang ada selama ini hanya biografi-biografi yang sukses sebagai tokoh politik, sementara biografi dan pemikirannya dari kalangan pengusaha masih sangat langka.
Lantas apa hubungan buku tersebut dengan pendidikan? Bukan hanya berhubungan, namun menusuk pada fakus pendidikan kita yang sesungguhnya, yakni sejauhmana pendidikan bisa mempersiapkan peserta didiknya memahami realitas kehidupan yang dihadapinya sehingga secara mandiri dia bisa hidup secara sukses di tengah masyarakat. Dan jantung inilah yang dikritik oleh Kiyosaki. Pendidikan tidak mendeskripsikan tentang realita, dia lebih menarasikan mimpi-mimpi orang besar yang diraih karena disiplin dan kerja keras belajar serta raihan ranking yang tinggi. Sekolah
baru bisa mencetak manusia-manusia yang siap bekerja untuk mencari uang belum mampu mencetak manusia yang bisa mengelola uang agar bisa bekerja untuk dirinya.
Selama ini pendidikan belum mampu menjawab persoalan-persoalan sosial. Pendidikan belum match dengan realitas kehidupan. Bahkan untuk menumbuhkan sikap mandiri dan percaya diri (optimis) tidak cukup berhasil. Pendidikan tidak cukup mampu menghalau budaya-budaya limbah dalam bentuk budaya pop yang hadir di tengah-tengah masyarakat kita. Lihatlah misalnya budaya kampus yang telah jauh bergeser. Kampus nyaris mirip dengan supermall atau tempat-tempat keramaian lainnya. Mahasiswa lebih senang nongkrong di warung-warung kopi kampus daripada bersusah payah membaca atau melakukan penelitian di perpustakaan. Hal ini diperburuk dengan makin mudahnya mendapatkan gelar akademik. Seorang teman yang tidak lulus sarjana tiba-tiba memakai gelar MBA di belakang namanya. Seorang kepala sekolah yang tidak pernah bepergian ke luar negeri apalagi kuliah di luar negeri tiba-tiba mencantumkan gelar MBA, M.Sc. di belakang namanya. Mereka tidak pernah malu memakai gelar tersebut. Inilah masyarakat kita, suatu komunitas yang gila dengan simbol-simbol kebesaran dan gelar, sekalipun mereka tidak berproses untuk mendapatkan gelar ini. Apa boleh buat, masyarakat kita memang sudah rusak di sana sini.
Ketidakmampuan pendidikan menjawab persoalan sosial disebabkan kurikulum pendidikan sebagai ruh dari pendidikan tidak cukup antisipatif. Kurikulum pendidikan terlalu banyak dibebani oleh pesan-pesan politik yang tidak bermanfaat bagi kehidupan seseorang di masa mendatang. Kurikulum tidak dibuat untuk sebuah keberhasilan seseorang di masa mendatang, bahkan dari data empiris kurikulum kita lebih merupakan perangkat untuk mengekang seseorang dari kreatifitas kejeniusannya. Apa yang dikritik Kiyosaki adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa ditutup-tutupi. Kurikulum tidak memberikan jawaban bagaimana para pembelajar hidup di zamannya, kurikulum hanya memberikan narasi tentang sebuah impian kehidupan.
Menurut pakar pendidikan J. Drost, kurikulum kita diperuntukkan bagi anak-anak jenius, karena terlalu banyaknya bobot materi yang harus dikuasai para siswa atau mahasiswa. Hal ikhwal kurikulum kita telah menjadi “gudang titipan” dari berbagai pihak yang berkepentingan dengan masa depannya. Untuk menumbuhkan “jiwa patriotisme” generasi muda, dimasukkanlah mata ajar PSPB pada kurikulum di sekolah, yang terbukti tidak ada apa-apanya terhadap “jiwa patriotisme” tersebut dan akhirnya dihapus kembali. Lihatlah berapa mata kuliah titipan pada kurikulum perguruan tinggi untuk tetap menjaga “jiwa patriot” tersebut! Kurikulum pendidikan harusnya memberi bekal bagi para siswa atau mahasiswa untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depan sesuai dengan prediksi-prediksi dan kecenderungannya.
Kini, akibat banyaknya siswa salah bergaul, disarankan agar pendidikan seks dimasukkan ke dalam kurikulum. Ini terjadi karena ketatnya kurikulum mengatur beban materi yang ada, sehingga guru tidak berkesempatan untuk mengekspresikan diri mencari dan memilih bahan yang diperlukan oleh siswa. Sesungguhnya guru-guru Biologi bisa menyajikannya dalam beberapa sesi pembelajaran atau guru ketatanegaraan dalam beberapa sesi budi pekerti. Ini tidak terjadi, karena mereka dibebani program mati kurikulum tanpa mampu melakukan apresiasi sendiri. Kegamangan ini tampak nyata sekalipun kurikulum disusun oleh para pakar. Dengan demikian, mestinya kurikulum dibebaskan dari pesan-pesan politis dan sosial agar dia benar-benar menjadi ruh pendidikan masa depan.
Itulah tampaknya argumentasi mengapa bagi sebagian orang, seperti halnya Kiyosaki, menyarankan untuk meninggalkan sekolah atau tidak datang ke sekolah bagi mereka yang hendak sukses secara finansial. Sekolah tidak menjanjikan secara finansial, karena di sekolah tidak diajarkan bagaimana uang bekerja untuk kita. Bagi orang-orang seperti Kiyosaki, berangkat ke sekolah hanya menyia-nyiakan waktu, yang sebenarnya akan sangat fungsional apabila dipakai untuk belajar. Memang bertahun-tahun kita bersekolah, separuh dari kehidupan kita dipakai untuk bersekolah dengan alasan untuk meningkatkan kesejahteraan kita. Namun di sekolah kita tidak belajar bagaimana kesejahteraan itu berarti dan bekerja buat kita. Yang ada hanyalah kita bekerja keras untuk (mencari) kesejahteraan. Akibatnya, kita tak menemukan kesejahteraan karena kita menjadi budak dari kesejahteraan tersebut.
Menurut tokoh kecerdasan emosional, Goleman, 20 persen kesuksesan masa depan ditentukan oleh kecerdasan intelektual (IQ), sementara 80 persennya ditentukan oleh faktor lainnya yang dia sebut sebagai kecerdasan emosional (EQ). Ini artinya seseorang yang secara akademis berhasil belum tentu bisa sukses dalam kehidupan ini. Kita mungkin bisa mengambil beberapa teman sebagai contoh yang prestasi akademisnya sangat bagus, namun dia tidak sukses dalam bekerja, karena selalu berselisih dan egois dengan teman di lingkungan kerjanya. Akhirnya dia tidak disenangi sejawatnya dan karena tidak berteman dan merasa dikucilkan akhirnya dia memutuskan keluar dari pekerjaan. Setiap saat dia melakukan yang sama dan dia tidak bisa meniti karier secara baik.
Kalau demikian, apa yang sesungguhnya bisa dilakukan dunia pendidikan untuk kesuksesan seseorang? Secara kuantitatif (ukuran normatif) pendidikan memberikan tempat pada seseorang. Pendidikan memungkinkan seseorang untuk meraih dan membuka kesempatan. Ini tidak dialami oleh orang yang tidak memiliki pendidikan cukup. Pendidikan juga berkontribusi pada watak (karakter) dan cara berpikir seseorang. Manusia-manusia terdidik cenderung lebih rasional dan objektif dalam memandang sesuatu. Demikian pula, secara emosional lebih mapan dan stabil. Inilah beberapa hal yang bisa diberikan pendidikan kepada masyarakat.
Sekolah memang tidak mengajarkan bagaimana hidup dan bagaimana mengantisipasi persoalan dalam hidup. Sekadar memberi bekal agar kita bisa hidup juga kurang memadai. Sistem pendidikan kita masih gamang dalam menangkap ke mana dan bagaimana harus mendidik bangsa ini. Sistem pendidikan kita masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara lain. Memang saatnya kita merekonstruksi kembali sistem pendidikan, terutama kurikulum yang sudah sangat tertinggal. Kurikulum harus diformat untuk kesuksesan masa depan bukan dibuat untuk kegagalan masa depan.
Share this article :