Tuesday, March 15, 2011

Home » » Korban Kejahatan dan Reaksinya

Korban Kejahatan dan Reaksinya


Korban Kejahatan dan Reaksinya

Dindin Abdul Muiz Lidinillah
Pada akhir dekade 80-an terjadi perubahan paradigma dalam pembelajaran matematika yang digagas oleh National Council of Teacher of Mathematics di Amerika pada tahun 1989 yang mengembangkan Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics, dimana pemecahan masalah dan penalaran menjadi salah satu tujuan utama dalam program pembelajaran matematika sekolah termasuk sekolah dasar.
Perubahan paradigma pembelajaran matematika ini kemudian diadaptasi dalam kurikulum di Indonesia terutama mulai dalam Kurikulum 2004 (KBK) dan Kurikulum 2006. Salah satu tujuan pembelajaran matematika sekolah adalah “memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh”. (BSNP, 2006). Oleh karena itu, pemecahan masalah menjadi fokus penting dalam kurikulum matematika sekolah mulai jenjang sekolah dasar sampai sekolah menengah. Penguasaan setiap standar kompetensi selalu dilengkapi dengan suatu kompetensi dasar pemecahan masalah yang berkaitan dengan standar kompetensi tersebut.
Kemampuan memecahkan masalah adalah kemampuan kognitif tingkat tinggi. Sukmadinata dan As’ari (2005 : 24) menambahkan tahap berpikir pemecahan masalah setelah tahap evaluasi yang menjadi bagian dari tahapan kognitif Bloom. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan memecahkan masalah adalah kemampuan kognitif tingkat tinggi.
Keberhasilan proses pembelajaran menggunakan pendekatan pemecahan masalah sangat bergantung kepada guru dalam meramu strategi pembelajaran. Guru dituntut untuk mampu mengembangkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dengan melatih siswa untuk menggunakan strategi-strategi pemecahan masalah. Masalah yang disajikan pada siswa bisa berupa soal matematika tidak rutin, soal cerita, masalah terbuka, teka-teki atau eksplorasi.
Pembelajaran pemecahan masalah di sekolah dasar tentunya tidaklah semudah dengan dibayangkan, hal ini terutama karena kemampuan pemecahan masalah sebagai tahap berpikir tingkat tinggi, sementara siswa sekolah dasar masih dalam tahap Opreasional Konkrit menurut Piaget atau Enaktif menurut Bruner. Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk mengatasi kesenjangan ini melalui pembelajaran pemecahan masalah yang sesuai dan patut dengan siswa sekolah dasar.
Akan tetapi sering terlihat kenyataan di lapangan, guru cenderung hanya mengajarkan strategi pemecahan masalah yang kaku seperti menetapkan apa yang diketahui, ditanya dan membuat jawaban. Strategi ini secara teknis terlihat efektif tetapi justru disinilah letak berbagai kesulitan siswa muncul terutama untuk siswa kelas rendah. Guru hanya menuntut siswa untuk menyelesaikan soal dengan cara paper and pencil saja tanpa melatih strategi-strategi khusus serta tanpa menggunakan media yang layak digunakan oleh siswa dalam memecahkan masalah. Jika hal ini terjadi, maka akan terjadi kesenjangan antara pemecahan masalah sebagai tahap berpikir tingkat tinggi dengan cara berpikir siswa yang masih berpikir secara konkrit sehingga muncullah kesulitan-kesulitan yang terjadi oleh siswa.
Pentingnya penggunaan media atau alat benda manipulatif dalam kegiatan pemecahan masalah mendorong ditulisnya makalah ini yang memfokuskan kepada topik ”Penggunaan Alat Peraga Manipulatif dalam Pembelajaran Pemecahan Masalah Matematika di Sekolah Dasar.”
Agar pemaparan makalah ini lebih terfokus, perlu merumuskan topik-topik permasalahan. Oleh karena itu, topik-topik permasalahan dalam makalah ini adalah tentang : 1) pengertian masalah dan pemecahan masalah matematika; 2) pembelajaran pemecahan masalah matematika di sekolah dasar; dan 3) penggunaan alat peraga manipulatif dalam pembelajaran pemecahan masalah matematika di sekolah dasar.
PENGERTIAN MASALAH DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA
Pengertian Masalah Matematika
Moursund (2005:29) menyatakan bahwa seseorang dianggap memiliki atau mengalami masalah bila menghadapi empat kondisi berikut, yaitu :
􀂃Memahami dengan jelas kondisi atau situasi yang sedang terjadi.
􀂃Memahami dengan jelas tujuan yang diharapkan. Memiliki berbagai tujuan untuk menyelesaikan masalah dan dapat mengarahkan menjadi satu tujuan penyelesaian.
􀂃Memahami sekumpulan sumber daya yang dapat dimafaatkan untuk mengatasi situasi yang terjadi sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Hal ini meliputi waktu, pengetahuan, keterampilan, teknologi atau barang tertentu.
􀂃Memiliki kemampuan untuk menggunakan berbagai sumber daya untuk mencapa tujuan.
Dalam pembelajaran matematika, masalah dapat disajikan dalam bentuk soal tidak rutin yang berupa soal cerita, penggambaran penomena atau kejadian, ilustrasi gambar atau teka-teki. Masalah tersebut kemudian disebut masalah matematika karena mengandung konsep matematika. Terdapat beberapa jenis masalah matematika, walaupun sebenarnya tumpang tindih, tapi perlu dipahami oleh guru matematika ketika akan menyajikan soal matematika. Menurut Hudoyo (1997:191), jenis-jenis masalah matematika adalah sebagai berikut :
􀂃Masalah transalasi, merupakan masalah kehidupan sehari-hari yang untuk menyelesaikannya perlu translasi dari bentuk verbal ke bentuk matematika.
􀂃Masalah aplikasi, memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan masalah dengan menggunakan berbagai macam-maacam keterampilan dan prosedur matematika.
􀂃Masalah proses, biasanya untuk menyusun langkah-langkah merumuskan pola dan strategi khusus dalam menyelesaikan masalah. Masalah seperti ini dapat melatih keterampilan siswa dalam menyelesaikan masalah sehingga menjadi terbiasa menggunakan strategi tertentu.
􀂃Masalah teka-teki, seringkali digunakan untuk rekreasi dan kesenangan sebagai alat yang bermanfaat untuk tujuan afektif dalam pembelajaran matematika.
Pemecahan Masalah Matematika
Sukmadinata dan As’ari (2006 : 24) menempatkan pemecahan masalah pada tahapan berpikir tingkat tinggi setelah evaluasi dan sebelum kerativitas yang menjadi tambahan pada tahapan berpikir yang dikembangkan oleh Anderson dan Krathwohl (dalam Sukmadinata dan As’ari, 2006 : 24).
Menurut Polya seperti dikutip oleh Moursund (2005:30) dari bukunya yang berjudul The Goals of Mathematical Education (Polya, 1969) :
Memahami matematika berarti mampu untuk bekerja secara matematik. Dan bagaimana kita bisa bekerja secara matematik ? Yang paling utama adalah dapat menyelesaikan masalah-masalah matematika. Lebih dari itu berkenaan dengan pembicaraan tentang berbagai cara untuk menyelesaikan masalah, harus memiliki sikap yang baik dalam menghadapi masalah dan mampu mengatasi berbagai jenis masalah, tidak hanya masalah yang sederhana yang bisa diselesaikan hanya dengan keterampilan setingkat sekolah dasar, tetapi dapat menyelesaikan masalah yang lebih komplek pada bidang teknik, fisika dan sebagainya, yang akan dikembangkan pada sekolah tinggi. Tetapi dasar-dasarnya harus dimulai di sekolah dasar. Dan juga saya berfikir bahwa hal yang penting di sekolah dasar adalah mengenalkan kepada siswa cara-cara menyelesaikan masalah. Tidak hanya untuk memecahkan berbagai bentuk masalah saja dan tidak hanya dapat berbuat sesuatu, tetapi untuk mengembangkan sikap umum dalam menghadapi masalah dan menyelesaikannya. (terjemahan).
Polya (dalam Sonnabend, 1993:56) juga mengatakan bahwa :
Pemecahan masalah adalah aspek penting dalam intelegensi dan intelegensi adalah anugrah khusus buat manusia : pemecahan masalah dapat dipahami sebagai karakteristik utama dari kegiatan manusia … kamu dapat mempelajarinya dengan melakukan peniruan dan mencobanya langsung.
Buku Polya yang pertama yaitu How To Solve It (1945) menjadi rujukan utama dan pertama tentang berbagai pengembangan pembelajaran pemecahan masalah terutama masalah matematika. Menurut Polya (Suherman et.al., 2001 : 84), solusi soal pemecahan masalah memuat empat langkah penyelesaian, yaitu : (1) pemahaman terhadap permasalahan; (2) Perencanaan penyelesaian masalah; (3) Melaksanakan perencanaan penyelesaian masalah; dan (4) Melihat kembali penyelesaian.
Sedangkan menurut Schoenfeld (Goos et.al., 2000 : 2) terdapat 5 episode dalam memecahkan masalah, yaitu Reading, Analisys, Exploration, Planning/Implementation, dan Verification. Artzt & Armour-Thomas (Goos et.al, 2000 : 2) telah mengembangkan langkah-langkah pemecahan masalah dari Schoenfeld, yaitu menjadi Reading, Understanding, Analisys, Exploration, Planning, Implementation, dan Verification. Langkah-langkah penyelesaian masalah tersebut sebenarnya merupakan pengembangan dari 4 langkah Polya. Sementara itu, Krulik dan Rudnik (1995) mengenalkan lima tahapan pemecahan masalah yang mereka sebut sebagai Heuristik. Heuristik adalah langkah-langkah dalam menyelesaikan sesuatu tanpa ada keharusan untuk dilakukan secara berurutan. Krulik dan Rudnik (1995) mengkhususkan langkah ini dapat diajarkan di sekolah dasar. Lima langkah tersebut adalah :
􀂃Read and Think (Membaca dan Berpikir) : mengidentifikasi fakta, mengidentifikasi pertanyaan, memvisualisasikan situasi, menjelaskan setting, dan menentukan tindakan selanjutya
􀂃Explore and Plan (Ekplorasi dan Merencanakan) : mengorganisasikan informasi, mencari apakah ada informasi yang sesuai/diperlukan, mencari apakah ada informasi yang tidak diperlukan, mengambar/mengilustrasikan model masalah, serta membuat diagram, tabel, atau gambar.
􀂃Select a Strategy (Memilih Strategi) : menemukan/membuat pola, bekerja mundur, coba dan kerjakan, simulasi atau eksperimen, penyederhanaan atau ekspansi, membuat daftar berurutan, deduksi logis, serta membagi atau mengkategorikan permasalahan menjadi masalah sederhana
􀂃Find an Answer (Mencari Jawaban) : memprediksi, menggunakan kemampuan berhitung, menggunakan kemampuan aljabar, menggunakan kemampuan geometris, serta menggunakan kalkulator jika diperlukan
􀂃Reflect and Extend (Refleksi dan Mengembangkan) : memeriksa kembali jawaban, menentukan solusi alternatif, mengembangkan jawaban pada situasi lain, mengembangkan jawaban (generalisasi atau konseptualisasi), mendiskusikan jawaban, serta menciptakan variasi masalah dari masalah yang asal.
Konsep Pembelajaran Pemecahan Masalah Matematika di SD
Sanjaya (2006:15) membedakan antara mengajar memecahkan masalah dengan pemecahan masalah sebagai suatu strategi pembelajaran. Mengajar memecahkan masalah adalah mengajar bagaimana siswa memecahkan suatu persoalan, misalkan memecahkan soal-soal matematika. Sedangkan strategi pembelajaran pemecahan masalah adalah teknik untuk membantu siswa agar memahami dan menguasi materi pembelajaran dengan menggunakan strategi pemecahan masalah. Perbedaannya terdapat pada kedudukan pemecahan masalah apakah sebagai konten atau isi pelajaran atau sebagai strategi.
Strategi pembelajaran pemecahan masalah bisa dalam hal pendekatan pembelajaran atau metode pembelajaran. Pendekatan pembelajaran adalah cara yang ditempuh guru dalam pelaksanaan pembelajaran agar konsep yang disajikan bisa beradaptasi dengan siswa. Ada dua jenis pendekatan yaitu pendekatan yang bersifat metodologi dan yang bersifat materi. Metode pembelajaran adalah cara menyajikan materi yang masih bersifat umum. Dalam pembelajaran matematika, pembelajaran dengan pendekatan pemecahan masalah berarti guru menyajikan materi pelajaran dengan mengarahkan siswa kepada pemanfaatan strategi pemecahan masalah dalam memahami materi pelajaran dan dalam menyelesaikan soal-soalnya. Materi pelajaran dipandang sebagai sekumpulan masalah yang harus dipahami dan diselesaiakan. Sedangkan metode pemecahan masalah lebih sempit lagi, yaitu bagaimana guru menyajikan soal-soal sebagai masalah yang harus dipecahkan dengan strategi pemecahan masalah.
Dalam makalah ini, makna pembelajaran pemecahan masalah dibatasi sebagai proses belajar mengajar yang menjadikan pemecahan masalah sebagai konten dari pembelajaran. Siswa diajarkan tentang strategi pemecahan masalah dengan memberikan berbagai contoh soal yang berkaitan dengan konsep-konsep matematika yang dapat dan harus diselesaikan melalui strategi pemecahan masalah. Strategi pemecahan yang dimaksud adalah strategi-strategi yang digunakan untuk menyelesaikan soal tertentu seperti diantaranya yang dipaparkan pada langkah pemilihan strategi dalam pemecahan masalah (h.4).
Dalam perkembangan teori-teori pembelajaran, pembelajaran pemecahan masalah ini dapat dipraktekkan seperti melalui pendekatan pembelajaran open ended, problem based learning (PBL), atau metode pembelajaran yang secara khusus mengajarkan strategi-strategi pemecahan masalah. Khususnya di SD, masalah matematika sering disajikan dalam bentuk soal cerita, soal tidak rutin, teka-teki, atau pola bilangan. Tetapi dalam buku-buku teks pembelajaran yang sering digunakan adalah soal cerita ditambah dengan ilustrasi gambar.
Pembelajaran Pemecahan Masalah yang Efektif
Karena pemecahan masalah dianggap sulit untuk diajarkan dan dipelajari, maka berbagai penelitian banyak mengkaji hal ini. Fokus penelitiannya adalah tentang : karakteristik masalah; karakteristik siswa yang mampu dan tidak mampu menyelesaikan masalah; serta strategi-stratagi pembelajaran pemecahan masalah.
Berikut ini adalah beberapa hasil penelitian tersebut yang dirangkum dalam Reys et.al.(1989).
􀂃Strategi pemecahan masalah secara khusus harus diajarkan sampai siswa dapat memecahkan masalah dengan benar.
􀂃Tidak ada strategi yang optimal untuk memecahkan seluruh masalah (soal). Beberapa strategi sering digunakan daripada yang lainnya dalam setiap tahapan pemecahan masalah.
􀂃Guru harus mengajarkan berbagai strategi kepada siswa untuk dapat menyelesaikan berbagai bentuk masalah. Siswa harus dilatih menggunakan suatu strategi untuk berbagai jenis soal, atau menggunakan beberapa strategi untuk suatu soal.
􀂃Siswa perlu dihadapkan pada masalah dengan cara pemecahan yang belum dikuasainya (tidak biasa), dan mereka harus didorong untuk mencoba berbagai alternatif pendekatan pemecahan.
􀂃Prestasi atau kemampuan siswa dalam memecahkan masalah berhubungan dengan tahap perkembangan siswa. Oleh karena itu, tingkat kesukaran masalah yang diberikan harus sesuai/patut dengan siswa.
Menurut Reys, et.al. (1989), agar mengajar pemecahan masalah lebih efektif, maka guru perlu memahami faktor-faktornyanya, yaitu : waktu, perencanaan, sumber belajar-media, teknologi, serta pengelolaan kelas. Waktu yang direncanakan harus efektif dan sesuai dengan kemampuan serta proses berpikir siswa. Sebaiknya guru mampu memperkirakan waktu yang diperlukan oleh siswa dalam menyelesaikan suatu soal maupun beberapa soal.
Seluruh tahapan pembelajaran harus dipersiapkan dengan baik meliputi : strategi guru, sumber belajar : alat peraga atau media, serta teknologi. Menurut Piaget (Reys, et.al., 1989), karakteristik siswa sekolah dasar masih berpikir operasional konkrit atau menurut Bruner (Reys, et.al., 1989), masih dalam tahap enaktif dan ikonik. Oleh karena itu, guru perlu menyiapkan alat-alat peraga manipulatif bagi siswa untuk digunakan dalam membantu memahami dan memecahkan masalah.
Kemampuan guru dalam mengelola kelas termasuk mengelola aktivitas siswa juga sangat penting dalam hal ini. Guru dapat merancang kegiatan pembelajaran pemecahan masalah baik secara individu, klasikal ataupun kelompok. Kegiatan pemecahan masalah lebih cocok dengan seting kerja kelompok dimana siswa saling bertukar pengetahuan dan kemampuan dalam memecahkan masalah. Hal ini tidak hanya dimaksudkan untuk efektivitas pembelajaran, tetapi juga agar siswa terbiasa bekerja sama dalam menyelesaikan suatu permasalahan.
Penilaian dalam Pemecahan Masalah
Penilaian untuk pemecahan masalah dianggap lebih sulit daripada penilaian untuk kemampuan kognitif lainnya karena harus mampu menilai keseluruhan proses pemecahan masalah disamping hasilnya. Penilaian untuk pemecahan masalah harus berdasarkan tujuan. Jika soal disajikan dalam bentuk masalah rutin dan non rutin, maka penilaian yang dilakukan berkaitan dengan keduanya.
Menurut Reys, et.al. (1989), beberapa metode penilaian yang dapat dilakukan adalah : observasi, inventori dan ceklis, dan paper and pencil test. Ketiga alat penilaian ini dapat digunakan bersama-sama atau salah satunya bergantung kepada tujuan penilaiannya. Sementara Krulik dan Rudnik (1995) menyebutkan beberapa metode penilaian yang dapat digunakan, yaitu : observasi, jurnal metakognitif, paragraf kesimpulan (summary paragraph), test, dan portofolio.
Tes yang dilakukan dapat berbentuk pilihan ganda, masalah masalah terbuka (open ended), dan pertanyaan kinerja untuk mengetahui apakah siswa dapat menyelesaikan masalah dengan lengkap atau tidak. Penilaian terhadap tes kinerja dapat menggunakan rubrik baik rubrik holistik maupun rubrik analitik.
Penggunaan Alat Peraga Manipulatif dalam pembelajaran Pemecahan Masalah di SD
Early examples of the benefits of a manipulative-based mathematics program can be seen in kindergarten and primary classrooms where young children are using manipulatives, such as Algebocks, to learn algebraic concepts such as patterns and functions. In turn, bubbleology and materials, like Zometools, plastic Polydrons, and connected drinking straws, are helping very young children learn about the properties of angle, shape, and congruence in geometry. (Kelly, 2006)
Berbagai teori belajar yang membahas tentang anak usia sekolah dasar terutama yang berkaitan dengan kemampuan kognitif yang menunjang dalam pembelajaran matematika menegaskan bahwa pembelajaran matematika harus mampu menjembatani kemampuan berpikir anak yang masih operasional konkrit (teori Piaget) dengan matematika yang secara konseptual abstrak.
Pada usia ini anak dapat berpikir logis tetapi secara perseptual orientasinya masih dibatasi dengan realitas fisik (Piaget, dalam Reys, dkk., 1989). Sementara menurut Bruner (Reys, et.al., 1989), anak melakukan manipulasi objek, mengkonstruksi, menyusun objek konkrit. Anak berinteraksi secara langsung dengan benda fisik. Pada tahap yang lebih tinggi anak mulai mampu menggunakan gambar untuk memahami situasi.
Gambaran tentang perkembangan anak seperti itu sesuai dengan kondisi usia siswa sekolah dasar. Oleh karena itu, penggunaan alat peraga dalam pembelajaran matematika merupakan suatu tuntutan yang penting. Kelly (2006), seperti dikutip pada bagian awal bab ini, mengutarakan berbagai hasil penilitian yang menunjukkan bahwa peran alat peraga manipulatif dalam pembelajaran matematika dapat membantu anak dalam memahami konsep-konsep matematika yang abstrak.
Pengertian Alat Peraga Manipulatif
Alat peraga manipalatif dalam hal ini merupakan bagian dari media pembelajaran yang berupa alat. Kelly (2006) menyatakan bahwa :
“The term, manipulative, will be defined as any tangible object, tool, model, or mechanism that may be used to clearly demonstrate a depth of understanding, while problem solving, about a specified mathematical topic or topics”
Menurut pengertian tersebut, alat peraga manipulatif (manipilative) tidak lebih berupa benda-benda, alat-alat, model, atau mesin yang dapat digunakan untuk membantu dalam memahami selama proses pemecahan masalah yang berkaitan dengan suatu konsep atau topik matematika.
Orang tua di rumah biasanya menyediakan berbagai mainan atau benda-benda untuk dimainkan oleh anak, tetapi tidak selamanya mainan atau benda-benda tersebut dapat digunakan untuk menanamkan konsep-konsep matematika. Benda-benda tersebut adalah murni mainan untuk memuat anak senang. Tetapi jika benda-benda tersebut berupa bentuk-bentuk geometri dengan aneka warna dan aneka ukuran, maka dapat dianggap sebagai benda manipulatif yang dapat menunjang terhadap proses belajar matematika.
Alat Peraga Manipulatif dalam Pemecahan Masalah Matematika
Secara alamiah, anak selalu berhadapan dengan masalah setiap saat, karena sebagian besar yang dihadapinya adalah hal yang baru. Sesuai dengan tahap perkembangannya, anak mengatasi dan memecahkan masalah melalui aktivitas yang berinteraksi langsung dengan benda-benda atau lingkungan secara nyata. Itulah cara anak belajar memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
Anak usia sekolah dasar terutama di kelas rendah, masih cenderung berpikir konkrit dalam memahami suatu situasi. Oleh karena itu, untuk memahami situasi atau masalah dengan baik anak perlu bantuan alat peraga manipulatif. Alat peraga ini tidak hanya membantu memahami tetapi juga sebagai media untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.
Russer (Kelly, 2006) mengutarakan bahwa “children are active individuals who genuinely construct and modify their mathematical knowledge and skills through interacting with the physical environment, materials, teachers, and other children”. Maksudnya, anak cenderung akan lebih aktif dalam membangun dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan matematikanya dengan menggunakan alat peraga manipulatif selama aktivitas belajar baik secara formal maupun saat bermain bebas.
Sebagai contoh, siswa disediakan benda-benda konkrit untuk digunakan dalam menyelesaikan soal-soal cerita tentang operasi-operasi bilangan cacah. Model-model bangun geometri digunakan siswa untuk mengetahui sifat-sifat bangun geometri melalui kegiatan eksplorasi atau eksperimen.
Dalam menggunakan alat peraga manipulatif, guru harus menggunakannya secara efektif agar memperoleh manfaat yang baik. Guru perlu mengetahui kapan, kenapa, dan bagaimana menggunakan alat peraga manipulatif secara fektif di ruang kelas, meliputi kemungkinan dapat diamati (dinilai), dapat digunakan dengan baik, serta pengaruhnya dalam membantu proses belajar melalui eksplorasi alat peraga tersebut.
Kelly (2006) menyajikan suatu standar penggunaan alat peraga manipulatif dalam pembelajaran matematika khususnya dalam pemecahan masalah agar penggunaan dapat efektif, yaitu :
􀂃Alat peraga memuat petunjuk penggunaan dan pemeliharan yang jelas.
􀂃Alat peraga mengandung hubungan yang jelas dengan suatu konsep Matematika.
􀂃Penggunaan alat peraga diarahkan secara kerjasama atau kelompok kerja untuk membantu meningkatkan pemahaman matematikanya.
􀂃Guru mengatur waktu kegiatan eksplorasi siswa dengan baik agar siswa terbiasa mengatur waktu dalam belajar.
􀂃Alat peraga sebaiknya variatif dalam bentuk, ukuran, warna serta tingkatan pemahaman konsep yang diharapkan.
􀂃Alat peraga dapat digunakan dengan berbagai cara dalam memecahkan masalah untuk menumbuhkan kreativitas siswa.
􀂃Guru mendukung dan respek terhadap penggunaan alat peraga manipulatif dalam pembelajaran matematika agar siswa pun memiliki sikap yang baik terhadap pembelajaran matematika menggunakan alat peraga.
􀂃Guru menjamin ketersediaan alat peraga yang dibutuhkan siswa serta mudah untuk digunakan (diakses).
􀂃Guru mampu mengatasi kesulitan atau resiko yang terjadi dari penggunaan alat peraga.
􀂃Guru melaksanakan penilaian berbasis kinerja (performent-based assessment).
Standar-standar ini diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pembelajaran pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika.
Berkaitan dengan penilaian yang dilakukan, karena pembelajaran menggunakan alat peraga manipulatif, maka penilaian yang tepat adalah penilaian berbasis kinerja baik untuk menilai siswa selama bekerja dengan alat peraga manipulatif atau untuk menilai kemampuan siswa memecahkan masalah. Alat penilaian yang dapat digunakan adalah berupa rubrik baik rubrik analitik maupun rubrik holistik. Oleh karena itu, teknik penilaiannya bisa dengan observasi, portofolio dan inventori. Selain itu, tes tertulis pun dapat digunakan untuk mengetahui sejauhmana perkembangan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika atau kemampuan penguasaan suatu konsep matematika.
PENUTUP
Pemecahan masalah adalah suatu kemampuan yang harus dikuasai oleh siswa, seiring dengan perubahan paradigma pembelajaran matematika dari fokus terhadap kemampuan berhitung dan rumus menjadi fokus terhadap kemampuan siswa dalam menggunakan konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah dalam kehidupan mereka. Pemecahan masalah telah menjadi bagian dari tujuan pembelajaran matematika dalam kurikulum saat ini mulai dari jenjang sekolah dasar.
Guru sebagai pihak yang paling berperan dalam pembelajaran, perlu mengusai tidak hanya pemecahan masalah secara konseptual tetapi juga secara praktiknya. Perubahan paradigma pembelajaran matematika ini membutuhkan kemampuan guru baik dalam merencanakan, melaksanakan dan menilai pembelajaran pemecahan masalah.
Berbagai masalah yang muncul dapat disebabkan oleh persepsi guru yang belum benar tentang pemecahan masalah dan pembelajarannya sehingga berimplikasi terhadap pembelajarannya. Sebab lain dapat didorong oleh beban pembelajaran yang padat berdasarkan kurikulum sehingga tidap punya waktu banyak untuk melaksanakan aktivitas pemecahan masalah. Padahal aktivitas pemecahan masalah membutuhkan waktu yang lebih banyak apalagi dalam model pembelajaran kelompok.
Pembelajaran pemecahan masalah sebagai suatu aktivitas matematika di sekolah dasar perlu ditunjang oleh alat peraga yang dapat dimanipulasi oleh siswa selama proses memecahkan masalah. Kenayataannya di lapangan adalah bahwa pembelajaran startegi pemecahan masalah cenderung mekanistik verbalis, hal ini kurang sesuai dengan tahapan berpikir siswa yang masih konkrit operasional.
Ketersediaan media dan alat peraga sangat menunjang bagi pembelajaran pemecahan masalah untuk menjembatani kemampuan pemecahan masalah sebagai kemampuan kognitif tingkat tinggi dengan kemampuan berpikir siswa sekolah dasar yang masih konkrit.
Peran alat peraga manipulatif dalam pembelajaran matematika terutama pada aktivitas pemecahan masalah tidak sama seperti benda-benda mainan anak, tetapi lebih sebagai suatu kebutuhan yang menunjang dalam pembelajaran matematika agar lebih efektif, mengingat matematika memuat konsep-konsep yang abstrak.
Pentingnya penggunaan alat peraga manipulatif dalam pembelajaran matematika, menuntut guru untuk menyediakan dan menggunakan alat peraga manipulatif sesuai dengan standar-standar yang diacu agar pembelajaran matematika lebih efektif dan mampu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa.
Mengakhiri tulisan ini, penulis mengakui bahwa makalah ini memuat tidak sedikit kekurangan dan kelemahan, berawal dari kesederhanaan topik bahasan dan terutama nilai dari pesan-pesan yang terungkap pada makalah ini. Tetapi mudah-mudahan, tema yang sederhana ini mampu untuk memberikan pengayaan dalam usaha meningkatkan kualitas pembelajaran matematika di sekolah dasar, dan selebihnya untuk memperdalam wawasan penulis tentang tema yang terkait.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, N.(——).Penerapan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Intruction) dalam Pembelajaran Matematika di SMU. Gorontalo : Universitas Negeri Gorontalo
Ashton, S.C. (——).Teaching Mathematic Problem Solving with a Workshop Approach and Literature. Virginia : College of William and Mary Williamsburg. [online] tersedia http://www.wm.edu/… /Ashton.pdf
Goos, et.al.(2000). A Money Problem : A Source of Insight Into Problem Solving Actioan. Queensland : The University of Queensland [online]. Tersedia http://www.cimt.plymouth.ac.uk/jornal/pgmoney.pdf
Hudoyo dan Sutawijaya. (1998). Pendidikan Matematika I. Jakarta. Dirjen Dikti Depdiknas
Jonassen, D.(2000). Toward a Design Theory of Problem Solving To Appear in Educational Technologi : Research and Depelopement. [online] http://www.coe.missouri.edu/~jonassen/PSPaper%20 final.pdf
Kelly, Catherine A.(2006). Using Manipulative in Mathematical Problem Solving : A Performance Based Analysis. [online]. Tersedia
Krulik, Sthepen dan Rudnick, Jesse A. (1995). The New Sourcebook for Teaching Reasoning and Problem Solving in Elementary School. Temple University : Boston.
Marsound, D. (2005). Improving Math Education in Elementary School : A Short Book for Teachers. Oregon : University of Oregon. [online]. Tersedia http://darkwing.uoregon.edu/…/ElMath.pdf
Ruseffendi, E.T. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar khususnya dalam Pengajaran Matematika untuk Guru dan Calon Guru. Bandung: Tarsito.
Sanjaya, Wina. (2007). Kajian Kurikulum dan Pembelajaran. SPs UPI : Bandung
Suherman dkk .(2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Jurusan Pendidikan Matematika UPI. Bandung
Sukmadinata & As’ari.(2006).Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di PT. Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak diterbitkan.
Share this article :